Cari Blog

Senin, 23 April 2012

Hukum memelihara anjing dan berburu menggunakan anjing


Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alalihi wa sallam bersabda : “Tatkala seseorang berjalan di sebuah jalan, mendadak ia merasa sangat haus. Dia menemukan sebuah sumur lalu ia turun ke dalamnya dan minum. Kemudian ia keluar, tiba-tiba ada anjing yang menjulurkan lidahnya, dia memakan tanah karena hausnya. Maka orang tadi berkata : ” Anjing ini telah mengalami kehausan yang sangat hebat seperti yang tadi aku alami “. Lalu ia turun lagi ke dalam sumur, ia memenuhi sepatunya dengan air kemudian menggigitnya hingga naik ke atas. Kemudian ia memberi minum pada anjing dan bersyukur kepada Allah Ta’ala, maka Allah mengampuninya “. Mereka bertanya : “Ya Rasulullah, apakah kami mendapatkan pahala dalam menolong binatang ? “. Maka beliau bersabda : ” Dalam (menolong) setiap makhluk hidup ada pahalanya* ” (HR. Bukhari - Muslim)
* Dalam memberi minum setiap makhluk ada pahalanya. Hadits ini mengandung anjuran untuk berbuat baik kepada hewan yang dihormati yaitu hewan yang tidak diperintahkan untuk membunuhnya.
Di dalam satu riwayat milik Bukhari : “Maka Allah memuji perbuatannya, mengampuninya dan memasukkannya ke dalam surga “. Dan dalam riwayat Bukhari - Muslim : “Tatkala ada seekor anjing berputar-putar di atas perigi, yang hampir mati karena kehausan, tiba-tiba ia dilihat oleh seorang wanita pelacur, dari para pelacur Bani Israil. Dia langsung melepas sepatunya untuk mengambil air minum bagi anjing. Dia akhirnya memberinya minum maka dia diampuni karenanya “.




Sumber :

2.1.18.3.2 Berburu dengan Menggunakan Anjing dan Sebagainya

Kalau berburu itu dengan menggunakan anjing, atau burung elang, misalnya, maka yang diharuskan dalam masalah ini ialah sebagai berikut:
  1. Binatang tersebut harus dididik.
  2. Binatang tersebut harus memburu untuk kepentingan tuannya. Atau dengan ungkapan yang dipakai al-Quran, yaitu: Hendaknya binatang tersebut menangkap untuk kepentingan tuannya, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri.
  3. Disebutnya asma' Allah ketika melepas.
Dasar persyaratan ini ialah sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Quran:
"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad!). Apakah yang dihalalkan buat mereka? Katakanlah: Telah dihalalkan kepadamu yang baik-baik dan apa-apa yang kamu ajar dari binatang-binatang penangkap yang terdidik, yang kamu ajar mereka dari apa-apa yang Allah telah mengajarkan kepadamu, maka makanlah dari apa-apa yang mereka tangkap untuk kamu dan sebutlah asma'Allah atasnya" (al-Maidah: 4)
a) Definisi mengajar, sebagaimana yang dikenal, yaitu kemampuan si tuan untuk memberi komando dan mengarahkan, dimana kalau anjing itu diundang akan datang, kalau dilepas untuk berburu dia akan bertahan dan kalau diusir akan pergi --walaupun definisi ini ada sedikit perbedaan antara ahli-ahli fiqih dalam beberapa hal-- tetapi yang terpenting, yaitu pendidikannya itu dapat dibuktikan menurut kebiasaan yang berlaku.
b) Definisi menangkap untuk tuannya, yaitu bahwa binatang tersebut tidak makan binatang yang ditangkap itu.
Sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w.:
"Kalau kamu melepaskan anjing, kemudian dia makan binatang buruan itu, maka jangan kamu makan dia, sebab berarti dia itu menangkap untuk dirinya sendiri. Tetapi jika kamu lepas dia kemudian dapat membunuh dan tidak makan, maka makanlah karena dia itu menangkap untuk tuannya." (Riwayat Ahmad, dan yang sama dengan hadis ini diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dan Muslim)
Diantara ahli-ahli fiqih ada yang membedakan antara binatang buas sebangsa anjing dan burung sebangsa rajawali. Kalau burung itu makan sedikit dari binatang yang ditangkapnya, maka binatang tersebut boleh dimakan, tetapi apa yang dimakan oleh anjing tidak boleh dimakan.
Hikmah kedua persyaratan ini, yaitu: mendidik anjing dan menangkap untuk tuannya, adalah menunjukkan ketinggian martabat manusia dan kebersihan manusia sehingga tidak mau makan kelebihan atau sisa anjing; dan keberanian anjing itu sendiri dapat memungkinkan untuk mempermainkan jiwa-jiwa yang lemah. Tetapi kalau anjing itu terdidik dan dia menangkap untuk tuannya, maka waktu itu dia berkedudukan sebagai alat yang dipakai oleh pemburu yang tak ubahnya dengan tombak.
3). Sedang menyebut asma' Allah ketika melepas anjing, yaitu seperti menyebut asma' Allah ketika melepaskan panah, tombak atau memukulkan pedang. Dalam hal ini ayat al-Quran telah memerintah dengan tegas "dan sebutlah asma' Allah atasnya" (al-Maidah: 4). Begitu juga beberapa hadis yang sahih, yang di antaranya ialah hadisnya Adi bin Hatim.
Di antara dalil yang menunjukkan persyaratan ini, yaitu kalau ada seekor anjing berburu bersama anjing lainnya, kemudian si tuan itu memakai kedua anjing tersebut, maka binatang yang ditangkap oleh kedua anjing tersebut tidak halal.
Dalam hal.ini Adi pernah bertanya kepada Nabi sebagai berikut:
"Aku melepaskan anjingku, tetapi kemudian kudapati anjingku itu bersama anjing lain, aku sendiri tidak tahu anjing manakah yang menangkapnya? Maka jawab Nabi. Jangan kamu makan, sebab kamu menyebut asma' Allah itu pada anjingmu, sedang anjing yang lain tidak." (Riwayat Ahmad)
Kemudian kalau lupa tidak menyebut asma' Allah baik ketika memanah ataupun ketika melepas anjing, maka dalam hal ini Allah tidak mengambil suatu tindakan hukum kepada orang yang lupa dan keliru. Oleh karena itu susullah penyebutan asma' Allah itu ketika makan, sebagaimana telah terdahulu pembicaraannya dalam bab menyembelih.
Tentang hikmah menyebut asma' Allah telah kami jelaskan dalam bab penyembelihan, maka apa yang dikatakan di sana, begitulah yang dikatakan di bab ini juga.

2.3.13 Memelihara Anjing Tanpa Ada Keperluan

Termasuk yang dilarang oleh Nabi ialah memelihara anjing di dalam rumah tanpa ada suatu keperluan.
Banyak kita ketahui, ada beberapa orang yang berlebih-lebihan dalam memberikan makan anjingnya, sedang kepada manusia mereka sangat pelit. Ada pula yang kita saksikan orang-orang yang tidak cukup membiayai anjingnya itu dengan hartanya untuk melatih anjing, bahkan seluruh hatinya dicurahkan kepada anjing itu, sedang dia acuh tak acuh terhadap kerabatnya dan melupakan tetangga dan saudaranya.
Adanya anjing dalam rumah seorang muslim memungkinkan terdapatnya najis pada bejana dan sebagainya karena jilatan anjing itu.
Dimana Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
"Apabila anjing menjilat dalam bejana kamu, maka cucilah dia tujuh kali, salah satu di antaranya dengan tanah. " (Riwayat Bukhari)
Sebagian ulama ada yang berpendapat, bahwa hikmah dilarangnya memelihara anjing di rumah ialah: Kalau anjing itu menyalak dapat menakutkan tetamu yang datang, bisa membuat lari orang-orang yang datang akan meminta dan dapat mengganggu orang yang sedang jalan.
Rasulullah s.a.w. pernah mengatakan:
"Malaikat Jibril datang kepadaku, kemudian ia berkata kepadaku sebagai berikut: Tadi malam saya datang kepadamu, tidak ada satupun yang menghalang-halangi aku untuk masuk kecuali karena di pintu rumahmu ada patung dan di dalamnya ada korden yang bergambar, dan di dalam rumah itu ada pula anjing. Oleh karena itu perintahkanlah supaya kepala patung itu dipotong untuk dijadikan seperti keadaan pohon dan perintahkanlah pula supaya korden itu dipotong untuk dijadikan dua bantal yang diduduki, dan diperintahkanlah anjing itu supaya dikeluarkan (Riwayat Abu Daud, Nasa'I, Tarmizi dan Ibnu Hibban)
Anjing yang dilarang dalam hadis ini hanyalah anjing yang dipelihara tanpa ada keperluan.

2.3.14 Memelihara Anjing Pemburu dan Penjaga, Hukumnya Mubah

Adapun anjing yang dipelihara karena ada kepentingan, misalnya untuk berburu, menjaga tanaman, menjaga binatang dan sebagainya dapat dikecualikan dari hukum ini. Sebab dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan lain-lain, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Barangsiapa memelihara anjing, selain anjing pemburu atau penjaga tanaman dan binatang, maka pahalanya akan berkurang setiap hari satu qirat." (Riwayat Jamaah)
Berdasar hadis tersebut, sebagian ahli fiqih berpendapat, bahwa larangan memelihara anjing itu hanya makruh, bukan haram, sebab kalau sesuatu yang haram samasekali tidak boleh diambil/dikerjakan baik pahalanya itu berkurang atau tidak.
Dilarangnya memelihara anjing dalam rumah, bukan berarti kita bersikap keras terhadap anjing atau kita diperintah untuk membunuhnya. Sebab Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Andaikata anjing-anjing itu bukan umat seperti umat-umat yang lain, niscaya saya perintahkan untuk dibunuh." (Riwayat Abu Daud dan Tarmizi)
Dengan hadis tersebut Nabi mengisyaratkan kepada suatu pengertian yang besar dan realita yang tinggi sekali nilainya seperti halnya yang ditegaskan juga oleh al-Quran:
"Tidak ada satupun binatang di bumi dan burung yang terbang dengan dua sayapnya, melainkan suatu umat seperti kamu juga." (al-An'am: 38)
Rasulullah pernah juga mengkisahkan kepada para sahabatnya tentang seorang laki-laki yang menjumpai anjing di padang pasir, anjing itu menyalak-nyalak sambil makan debu karena kehausan. Lantas orang laki-laki tersebut menuju sebuah sumur dan melepas sepatunya kemudian dipenuhi air, lantas minumlah anjing tersebut dengan puas.
Setelah itu Nabi bersabda:
"Karena itu Allah berterimakasih kepada orang yang memberi pertolongan itu serta mengampuni dosanya." (Riwayat Bukhari)

2.3.15 Pengetahuan Ilmu Modern Tentang Memelihara Anjing

Barangkali akan kita jumpai di tempat-tempat kita ini beberapa orang yang sedang asyik terhadap Barat, sehingga mereka menganggap Barat itu mempunyai kehalusan budi dan perikeimanusiaan yang tinggi serta menaruh kasih-sayang kepada semua binatang yang hidup. Mereka menganggapnya, bahwa Islam itu bersikap keras terhadap binatang yang dapat dipercaya, tunduk dan beramanat.
Kepada mereka ini akan kami bawakan suatu artikel ilmiah yang sangat berharga sekali, ditulis oleh seorang sarjana spesialis dari Jerman. Artikel tersebut menjelaskan betapa bahayanya yang akan ditimbulkan karena memelihara anjing. Ia mengatakan: "Bertambahnya musibah yang diderita umat manusia pada tahun terakhir yang disebabkan oleh anjing, memaksa kita untuk memperhatikan secara khusus tentang betapa bahaya yang nampak sekali yang disebabkan oleh anjing, lebih-lebih situasinya bukan terbatas karena memelihara itu ansich, tetapi sampai kepada bermain-main dan menciumi serta mengusap-usap anjing dengan tangan oleh anak-anak kecil dan orang-orang dewasa. Bahkan banyak sekali anjing-anjing itu menjilat bekas bekas makanan yang ada di piring orang tempat menyimpan makanan dan minuman manusia."
Kebiasaan-kebiasaan jelek yang kami sebutkan di atas akan sangat bertentangan dengan perasaan yang sehat dan tidak mungkin dapat diterima oleh kesopanan manusia. Lebih lebih persoalan ini sangat kontradiksi dengan kebersihan dan kesehatan. Tetapi kami tidak akan membicarakan persoalan ini ditinjau dari segi tersebut, karena telah menyimpang dari pokok persoalan yang sedang dibahas dalam studi ilmiah ini. Biarlah itu kita serahkan kepada masalah pendidikan budi-pekarti dan pendidikan jiwa untuk menentukannya.
Di sini akan kita tinjau dari segi kesehatan --dan itulah yang kami anggap sangat urgen dalam pembahasan ini-- sebab bahaya yang sangat mengancam kesehatan manusia dan kehidupannya yang disebabkan memelihara anjing tidak boleh dianggap remeh. Banyak orang yang terpaksa harus mengorbankan uang yang tidak sedikit karena digigit oleh anjing, apabila cacing pita anjing itu justru yang menyebabkan penyakit yang berkepanjangan. Bahkan tidak kurang juga penderita yang akhirnya menemui ajalnya.
Cacing ini bentuknya sangat kecil sekali, dan disebut cacing pita anjing. Cacing ini akan tampak pada diri manusia dalam bentuk jerawat. Cacing ini terdapat juga pada binatang-binatang lain terutama babi, tetapi pertumbuhannya tidak secepat cacing pita anjing. Terdapat juga pada anak-anak anjing hutan dan serigala, tetapi jarang ada pada kucing.
Cacing pita anjing ini berbeda sangat dengan cacing-cacing pita lainnya, dan sangat kecil sekali, sehingga hampir-hampir tidak dapat dilihat, dan tidak dikira dia itu hidup kecuali setelah beberapa tahun lamanya
Selanjutnya Dr. Graard Pentsmar menulis artikel tersebut berkata: Perkembangan tumbuhnya cacing pita anjing ini dalam ilmu hewan ada beberapa keanehan tersendiri, misalnya satu telur dapat menumbuhkan kepala-kepala casing pita yang banyak sekali dengan membawa bisul-bisul (jerawat) yang timbul karena cacing tersebut. Telur-telur ini akan memungkinkan untuk menumbuhkan jerawat-jerawat yang berbeda-beda pula. Demikianlah, bahwa kepala-kepala cacing yang ditumbuhkan karena bisul-bisul itu akan berubah menjadi cacing-cacing pita lagi yang dapat terbentuk dengan sempurna dan berkembang dalam usus-usus anjing.
Cacing-cacing ini tidak dapat tumbuh pada diri manusia dan hewan, melainkan berupa jerawat-jerawat dan bisul-bisul baru yang satu lama lain sangat berbeda dengan cacing pita itu sendiri. Bisul yang terdapat pada binatang tidak bisa lebih dari sebesar kepal, dan itupun sebenarnya sangat jarang sekali. Justru itu kalau diperhatikan, bahwa timbangan hati akan bisa bertambah yang kadang-kadang tambahnya itu mencapai 5 sampai 10 kali dari berat hati biasa. Tetapi bisul yang ada pada manusia bisa mencapai sebesar kepal tangan atau sebesar kepala anak kecil dan penuh dengan nanah yang beratnya 10 sampai 20 kati.
Kebanyakan bisul ini menyerang hati manusia dan akan nampak dalam bentuknya yang berbeda-beda, tetapi, kebanyakan kemudian pindah pada paru-paru, lengan, limpa dan anggota yang lain. Semua ini dapat berubah bentuk maupun keadaannya dengan perubahan yang besar sekali, sehingga dalam waktu relatif pendek sukar untuk dapat dibedakan dari yang biasa.
Walhasil, bahwa bisul ini kalau sampai timbul sangat mengancam kesehatan dan hidupnya si penderita dan berat untuk kita bisa mengetahui perkembangan sejarah hidupnya, membiaknya dan membentuknya. Sampai hari ini belum ada jalan untuk mengobatinya. Cuma kadang-kadang cacingcacing ini akan mati dengan sendirinya dan kadang-kadang justru bahan-bahan yang tidak dapat diterima oleh tubuh itu sendiri yang bekerja untuk membinasakan kuman-kuman tersebut. Menurut penyelidikan yang mutakhir, bahwa tubuh manusia yang dalam keadaan seperti ini justru menjadi bahan obat untuk melawan kuman tersebut serta mematikan bekerjanya racun.
Dan yang sangat menyedihkan, bahwa matinya cacing-cacing itu jarang sekali tidak meninggalkan pengaruh dan menimbulkan bahaya, dibandingkan dengan lainnya. Lebih-lebih cara untuk memberantas penyakit ini dengan jalan kimia tidak lagi berguna. Satu-satunya jalan ialah dengan operasi. Lama tidak dioperasi si penderita tidak akan dapat lolos dari mara-bahaya. Yakni pengobatan cara lain tidak lagi berguna.
Sebab-sebab ini semua, memaksa kita untuk berbuat cara-cara yang mungkin guna memberantas penyakit yang sangat berbahaya demi melindungi manusia dari bahaya yang datangnya misterius itu.
Prof. Dr. Nawalr dalam analisanya tentang bangkai di Jerman, mengatakan: Bahwa di Jerman penderitaan yang dialami oleh umat manusia yang disebabkan bisul cacing pita anjing tidak kurang dari 1% atau lebih. Sedang negara-negara lain yang diserang penyakit ini, yaitu di bagian selatan Nederland, Daimasia, Krim, Islandia, Tenggara Australia, propinsi Frisland di negeri Belanda dimana anjing-anjing selalu dipakai untuk menarik, maka penderitaan yang ditimbulkan karena cacing pita tidak kurang dari 12%. Sedang di Islandia sendiri antara 43% penduduk negara tersebut yang menderita karena bisul cacing pita.
Kalau kita sudah tahu betapa kerugian yang akan menimbulkan makanan manusia yang ditimbulkan oleh binatang yang membahayakan ini sampai kepada bahaya yang mengancam kesehatan manusia karena adanya cacing pita itu, maka tidak seorang pun yang akan menentang, bahwa menjauhkan binatang ini adalah termasuk salah satu keharusan, demi menjaga dan melindungi makanan rakyat. Lebih-lebih segi-segi yang mungkin dapat menyelamatkannya hingga kini masih sangat mengkawatirkan. Dari saat ke saat, wabah ini akan menular.
Jalan yang paling ampuh untuk memberantas wabah ini ialah kita harus bekerja dengan giat untuk mengurung cacing pita ini hanya pada anjing dan dijaga jangan sampai tersebar luas. Hal ini kita tempuh, justru kita tidak lagi mampu untuk melarang orang jangan memelihara anjing samasekali ... Dan jangan dilupakan juga kita harus mengobati anjing itu sendiri, yaitu dengan jalan menghilangkan cacing pitanya yang terdapat dalam usus-ususnya itu. Caranya ialah mengoperasi anjing-anjing tersebut, dan ini telah biasa dilakukan terhadap anjing pelacak dan penjaga.
Dan demi menjaga kesehatan dan kelangsungan hidup manusia, dapat juga kiranya dijaga dengan teliti sekali, jangan bermain-main dan berdekat-dekat dengan anjing. Begitu pula anak-anak supaya tidak membiasakan bergaul dengan anjing, jangan biarkan tangannya dijilat anjing dan jangan diperkenankan anjing-anjing itu tinggal di tempat bermainnya anak-anak. Sebab sangat disesalkan, sering kita lihat ada beberapa anjing yang berkeliaran di tempat-tempat olahraga anak-anak.
Disamping itu harus disediakan pula bejana-bejana khusus untuk makanan anjing. Jangan dibiarkan anjing-anjing itu menjilat piring-piring yang biasa dipakai makan manusia. Jangan pula dibiarkan anjing-anjing itu keluar-masuk di kedai-kedai makanan, pasar-pasar umum, warung-warung dan sebagainya. Dan semua orang pun harus mengambil bagian khusus untuk menghindarkan anjing dari apa saja yang bersentuhan dengan makanan dan minuman manusia.
Dengan demikian, maka kita pun tahu betapa Nabi Muhammad melarang kita untuk bergaul dengan anjing dan memperingatkan kita jangan sampai bejana-bejana kita itu dijilat oleh anjing serta melarang memelihara anjing, kecuali karena diperlukan. Betapa pula sesuainya ajaran Muhammad dengan pengetahuan modern dan ilmu kedokteran yang mutakhir!
Dalam hal ini kami tidak akan memperpanjang perkataan, kiranya cukup apa yang dikatakan al-Quran:
"Muhammad tidak berbicara yang keluar dari hawa nafsunya. Tidak lain yang dikatakan itu melainkan wahyu yang diwahyukan." (an-Najm: 3-4)
====================================================
Tentang jilatan anjing pada baju/kulit kita coba lihat kemari, krn sudah dibahas dengan dalilnya:http://thetrueideas.multiply.com/journal/item/599/Ketika_Kita_Dijilat_Anjing

======================================================
Ini ada lagi tentang anjing, dari sebuah tanya jawab dihttp://bincang.net/forum/showthread.php?t=55833&highlight=samak
Kebetulan ada dalil-dalilnya dan membahas mana dalil yang lemah dan mana yang kuat, jadi bisa saya sertakan disini :

Adakah anjing najis?
Dalam sebuah hadisnya Rasulullah S.A.W bersabda:

"Apabila seekor anjing minum dalam bekas salah seorang daripada kamu, maka basuhlah ia tujuh kali."

Hadis ini dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim dan lain-lain, lihat Shahih al-Bukhari – no: 172. Dalam riwayat-riwayat lain diterangkan bahawa salah satu basuhan hendaklah bersama dengan tanah. Sebahagian riwayat menyebut basuhan kali pertama, sebahagian lagi kali terakhir dan sebahagian lagi kali ke-lapan. Yang rajih (kuat) adalah basuhan kali pertama kerana keterpeliharaan riwayat-riwayatnya. [Ibn Hajar al- `Asqalani – Fath al-Bari bi Syarh Shahih al Bukhari (tahqiq Bin Baz; Dar al-Fikr, Beirut), jld. 1, ms. 369-370 dan al-Albani – Irwa' al-Ghalel fi Takhrij Ahadith Manar al-Sabil (Maktab al-Islami, Beirut 1985), jld 1, ms 62]

Berdasarkan hadis ini wujud dua pendapat tentang kenajisan anjing. Pendapat pertama berkata anjing adalah najis keseluruhannya manakala pendapat kedua berkata ianya tidak najis keseluruhannya. Perinciannya adalah seperti berikut:

Pendapat pertama dan dalil-dalilnya: 

Pendapat pertama menyatakan bahawa seluruh anjing sama ada kecil atau besar adalah najis. Ini adalah pendapat mazhab al-Syafi`iy dan Hanbali. [Wahbah al-Zuhaili – Fiqh al-Islami wa Adilatuhu (Dar al- Fikr, Damsyik 1994), jld. 1, ms. 305] Dalil mereka adalah seperti berikut:

Dalil pertama adalah berdasarkan kaedah qiyas:

Sabda Rasulullah S.A.W untuk membasuh bekas yang diminum oleh anjing adalah dalil bagi menunjukkan najisnya lidah, air liur dan mulut anjing. Memandangkan lidah dan mulut adalah anggota utama haiwan dan ia dikategorikan sebagai najis maka sudah tentu lain-lain anggotanya -yakni seluruh badannya – adalah najis juga. Lebih dari itu air liur anjing terhasil daripada peluhnya sendiri, maka jika peluh yang keluar dari mulut (yakni air liur) adalah najis maka sudah tentu peluh yang keluar daripada seluruh badannya adalah najis juga. Maka dengan itu seluruh badan anjing adalah najis.

Dalil kedua adalah berdasarkan sebuah hadis:

Bahawasanya Rasulullah S.A.W diundang ke rumah satu kaum lalu baginda memenuhi undangan tersebut, kemudian baginda diundang ke rumah satu kaum yang lain namun tidak baginda memenuhinya. Lalu ditanya kepada baginda kenapa? Baginda menjawab: "Sesungguhnya pada rumah si fulan itu ada anjing." Lalu dikatakan kepada baginda: "Dalam rumah si fulan (undangan pertama) ada kucing. Baginda menjawab: "Sesungguhnya kucing bukan najis."

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Daruquthni dan al-Hakim.

Berdasarkan hadis ini difahami bahawa anjing adalah najis (berbeza dengan kucing yang bukan najis).

Pendapat kedua dan dalil-dalilnya. 

Pendapat kedua menyatakan bahawa anjing tidak najis seluruhnya, demikian yang masyhur daripada Mazhab Maliki. Mazhab Hanafi berpendapat seumpama kecuali terhadap mulut, air liur dan tahi anjing, ketiga-tiga ini mereka kategorikan sebagai najis. [Wahbah al-Zuhaili – Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, jld. 1, ms. 305]

Mazhab Maliki berpendapat suruhan Rasulullah S.A.W untuk membasuh bekas yang diminum oleh anjing bukanlah disebabkan oleh kenajisan mulut, lidah dan air liur anjing tetapi disebabkan kepada ketaatan kepada Allah semata-mata (ta'abudi).

Mereka berpendapat sedemikian dengan merujuk kepada lain-lainhadis Rasulullah s.a.w. yang membenarkan penggunaan anjing terlatih untuk berburu dan tiadalah seekor anjing memburu dan membunuh mangsanya melainkan melalui gigitan mulutnya. Haiwan yang ditangkap oleh anjing
buruan tersebut adalah tetap suci untuk dimakan seluruhnya
berdalilkan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala:

Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad): "Apakah (makanan) yang dihalalkan bagi mereka?" Bagi menjawabnya katakanlah: "Dihalalkan bagi kamu (memakan) yang lazat-lazat serta baik, dan (buruan yang ditangkap oleh) binatang-binatang pemburu yang telah kamu ajar (untuk berburu) mengikut cara pelatih-pelatih binatang pemburu. Kamu mengajar serta melatihnya (adab peraturan berburu) sebagaimana yang telah diajarkan Allah kepada kamu. Oleh itu makanlah dari apa yang mereka tangkap untuk kamu dan sebutlah nama Allah atasnya. [Surah al-Maidah 5:04] 
Berdasarkan gabungan dalil-dalil ayat di atas dan hadis-hadis yang membenarkan penggunaan anjing terlatih untuk memburu, mazhab Maliki berpendapat bahawa mulut, lidah dan air liur anjing bukanlah najis.

Sedikit berbeza adalah mazhab Hanafi di mana mereka berpendapat anjing bukan najis namun mulut, lidah dan air liurnya adalah najis dengan merujuk secara zahir kepada hadis yang pertama di atas.

Pendapat yang rajih (kuat): 
Pendapat yang dianggap rajih (terkuat) adalah pendapat yang kedua. Sebab-sebabnya adalah seperti berikut:

Pertama:

Kaedah qiyas yang digunakan untuk menghukum seluruh anjing sebagai najis adalah qiyas yang lemah.

Ini kerana asal pengusulkan kaedah qiyas adalah bagi mencari hukum terhadap kes baru yang tidak wujud pada zaman turunnya wahyu – al- Qur'an dan al-Sunnah. `Illat atau sebab bagi kes yang baru tersebut dikaitkan secara analogi kepada satu kes yang sudah sedia wujud pada zaman penurunan wahyu.

Menggunakan qiyas untuk menghukum keseluruhan anjing sebagai najis tidak dianggap kuat kerana anjing pada asalnya sudah wujud pada zaman turunnya wahyu. Bererti ia bukanlah kes yang baru. Apabila sesuatu kes itu sudah sedia wujud di zaman penurunan wahyu dan tidak ada wahyu yang menerangkan hukumnya, bererti sememangnya Allah tidak bermaksud untuk menurunkan apa-apa hukum ke atasnya.

Apabila tiada hukum yang diturunkan maka ia kembali kepada kedudukan yang asal, iaitu halal/harus/bersih. Firman Allah:

“Dia lah (Allah) yang menjadikan untuk kamu segala yang ada di bumi.” [al-Baqarah 2:29]

“Dan Ia memudahkan untuk (faedah dan kegunaan) kamu, segala yang ada di langit dan yang ada di bumi, (sebagai rahmat pemberian) daripadaNya; sesungguhnya semuanya itu mengandungi tanda-tanda (yang membuktikan kemurahan dan kekuasaanNya) bagi kaum yang memikirkannya dengan teliti.” [Al-Jatsiyah 45:13] 

Tidakkah kamu memperhatikan bahawa Allah telah memudahkan untuk kegunaan kamu apa yang ada di langit dan yang ada di bumi, dan telah melimpahkan kepada kami nikmat-nimatNya yang zahir dan yang batin? Dalam pada itu, ada di antara manusia orang yang membantah mengenai (sifat-sifat) Allah dengan tidak berdasarkan sebarang pengetahuan atau sebarang petunjuk; dan tidak juga berdasarkan mana-mana Kitab Allah yang menerangi kebenaran. [Luqman 31:20]

Kesimpulannya, anjing adalah haiwan yang sedia wujud pada zaman Rasulullah S.A.W. Apabila tiada ketentuan hukum diturunkan dalam persoalan najis atau tidaknya anjing, bererti hukum anjing kembali kepada yang asal, iaitu ia adalah haiwan yang tidak najis.

Kedua:

Hadis yang menerangkan keengganan Rasulullah S.A.W memenuhi undangan kerana ada anjing di dalam rumah adalah lemah (dha`if). 
Syaikh `Adl Ahmad `Abd al-Mawjud dan Syaikh `Ali Muhammad Ma'wudh dalam semakan mereka ke atas kitab Sunan al-Daruquthni (Dar al- Ma'refah, Beirut 2001), jld. 1, ms 171 telah mentakhrij hadis tersebut dan ia dapat diringkaskan sebagai:

"Dikeluarkan oleh Ahmad (2/442), al-Hakim (1/183), al-`Uqaili dalam al-Dhu`afa' (3/386) dan al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra (1/151); setiapnya daripada jalan `Isa bin al-Nusayyab, daripada Abi Zur'ah, daripada Abi Hurairah.

Berkata al-Hakim: Dan `Isa bin al-Musayyab berseorangan daripada Abi Zur'ah kecuali bahawasanya beliau benar (shaduq) dan tidak tidak dicela secara pasti. Namun ini kemudiannya diikuti dengan komentar al- Zahabi: "Berkata Abu Daud (tentang `Isa bin al-Musayyab): Dha'if.
Berkata Abu Hatim: Tidaklah dia kuat.

Diriwayatkan oleh al-`Uqaili daripada Yahya bin Ma'in bahawa dia berkata: `Isa bin al-Musayyab dha'if.

Berkata al-Haitsami di dalam al-Majma' (4/4: Diriwayatkan oleh Ahmad dan di dalam (sanadnya) terdapat `Isa bin al-Musayyab, dinilai terpercaya (thiqah) oleh Abu Hatim dan dha'if oleh selainnya. (Ini tidak benar) kerana Abu Hatim tidak menilai beliau thiqah, beliau hanya berkata tentangnya dalam al-Jarh wa al-Ta'dil (6/288): Dianggap shaduq akan tetapi kuat."

Demikian takhrij oleh Syaikh `Adl Ahmad `Abd al-Mawjud dan Syaikh `Ali Muhammad Ma'wudh.

Al-Daruquthni dan al-Baihaqi menilai `Isa bin al-Musayyab sebagai "shalih al-Hadis." Akan tetapi dalam ilmu hadis sedia diterangkan bahawa apabila bertembung celaan dan pujian, hendaklah diunggulkan celaan tersebut.

Oleh kerana itu Syaikh Syu'aib al-Arna'uth dan rakan-rakan dalam semakan mereka ke atas Sunan al-Daruquthni (Muassasah al-Risalah, Beirut 2004), jld 1, ms 103 telah mengkategorikan hadis ini sebagai: "Hadis Dha'if."

Kesimpulannya, hadis ini dha'if dan tidak boleh dijadikan sumber dalil dalam perkara hukum. 

Ketiga:

Hadis yang dijadikan dalil dalam Mazhab al-Syafi'iy berakhir dengan lafaz: "Sesungguhnya kucing bukan najis." Lafaz ini sebenarnya tidak wujud di dalam mana-mana kitab hadis yang meriwayatkan hadis tersebut.

Lafaz yang terdapat dalam Sunan al-Daruquthni adalah:

Rasulullah S.A.W pernah datang ke rumah satu kaum daripada kalangan orang-orang Anshar namun baginda enggan masuk rumah mereka. Ini menimbulkan kegelisahan ke atas mereka (tuan rumah) lalu mereka bertanya: "Ya Rasulullah, anda datang ke rumah si fulan tetapi anda enggan pergi ke rumah kami." Maka baginda menjawab: "Ini kerana rumah kamu ada anjing." Mereka berkata: "Akan tetapi pada rumah mereka ada kucing." Rasulullah menjawab: "Kucing adalah sejenis binatang buas (yakni tidak tetap penjagaannya, sering merayau-rayau)."
Oleh kerana itu al-Hafiz al-`Iraqi telah berkata: "Seandainya sabit tambahan ini (yakni "Sesungguhnya kucing bukan najis."), ia telah menjadi sumber pendalilan yang masyhur. Akan tetapi ianya tidak dikenali asal usulnya di dalam mana-mana kitab hadis yang sedia ada. Padahal hadis ini diriwayatkan dengan tambahannya oleh Imam Ahmad, dalam musnadnya, al-Daruquthni dalam sunannya dan al-Hakim dalam mustadraknya daripada riwayat `Isa bin al-Musayyab daripada Abi Zur'ah daripada Abi Hurairah, kecuali mereka tidak menyebut dalam (kitab-2 mereka) lafaz: "Sesungguhnya kucing bukan najis."

Sesunguhnya yang disebut adalah sabda Nabi S.A.W: "Kucing adalah sejenis binatang buas."

Dan berkata al-Daruquthni sesudah mengeluarkan hadis tersebut: "'Isa bin al-Musayyab Shalih al-Hadis." Dan berkata al-Hakim: "Hadis ini sahih isnad dan tidak dikeluarkan (oleh al-Bukhari atau Muslim) dan `Isa bin al-Musayyab berseorangan daripada Abi Zur'ah, akan tetapi (tak mengapa) kerana dia benar (shaduq) dan tidak dicela secara pasti."

Saya (al-Hafiz al-Iraqi) berkata: Bahkan yang benar dia telah dicela oleh Ibn Ma'in, dan Abu Daud dan al-Nasa'iy dan Ibn Hibban, dan oleh al-Daruquthni sendiri di tempat yang lain.

Sekian al-Hafiz al-`Iraqi daripada kitabnya: Thahr al-Tastrib bi Syarh al-Taqrib al-Asanid wa Tartib al-Masanid (Dar al-Fikr, Beirut), jld. 2, ms 123).

Oleh itu kesimpulannya hadis yang dijadikan dalil kenajisan anjing tertolak dari dua sudut:
pertama adalah kelemahan sanadnya manakala kedua adalah tambahan lafaz "Sesungguhnya kucing bukan najis" sebenarnya tidak wujud dalam mana-mana kitab hadis. 

Berdasarkan tiga sebab di atas, maka yang rajih (kuat) ialah pendapat kedua, iaitu anjing tidak najis termasuklah air liurnya. Hadis yang menyuruh menyucikan bekas yang dijilat oleh anjing tidak semestinya bererti jilatan anjing itu najis, sebagaimana kita manusia juga disuruh berwudhu' dan bertayamum – suruhan ini tidaklah bererti kita najis. Akan tetapi ia adalah ketaatan kita kepada perintah Allah dan Rasul-Nya semata-mata. 
Inilah juga merupakan pendapat Syaikh Yusuf al-Qaradhawi. Setelah mengkaji dalil masing-masing mazhab, beliau menulis:

"Di antara yang najis ialah air liur anjing. Disebut dalam Shahih al- Bukhari dan Muslim daripada Abu Hurairah, bahawa Rasulullah S.A.W bersabda: Apabila seekor anjing minum dalam bekas salah seorang daripada kamu, maka basuhlah ia tujuh kali.
Ini juga sebagaimana telah ditetapkan menurut hadis keduanya (al- Bukhari dan Muslim) dan selain keduanya daripada hadis Abdullah bin Mughaffal tentang kenajisannya. Dengan demikian, jelaslah tentang najisnya air liur anjing itu.

Bahkan, di sana ada beberapa fuqaha yang menyebutkan tentang kenajisan semua anggota tubuh anjing. Padahal tidak ada dalil yang menunjukkan hal ini baik dari Al-Quran maupun sunnah Rasulullah.Sedangkan pengambilan dalil tentang dijilat atau minumnya anjing dari tempat air, maka itu khusus untuk sesuatu yang dijilat saja. Tidak ada yang menunjukkan pada kenajisan anjing secara keseluruhan: daging, tulang, darah, bulu, dan keringat. Sedangkan mengqiyaskan ini dengan jilatan anjing, adalah bentuk qiyas yang sangat jauh sekali, sebagaimana disebut oleh Imam As-Syaukani.
Khususnya jika dikaitkan dengan hadits Abdullah bin Umar: Anjing masuk dan keluar di masjid pada .masa Rasulullah dan para sahabat tidak memercikkan air apa pun. (Hadis riwayat al-Bukhari dan Abu Dawud). 
Ada juga sebagian yang lain yang mengatakan tentang kesucian semua anggota tubuh anjing dan mengatakan, Sesungguhnya dicucinya tempat yang dijilat anjing adalah masalah yang bersifat ibadah (ta'abbudi), yang hikmahnya hanya Allah yang tahu. Sedangkan yang wajib kita lakukan adalah mengamalkan apa yang ada di dalam nash walaupun kita tidak mengetahui hihmahnya. Ini adalah madzhab Imam Malik.

Imam Malik berhujah bahwa Allah membolehkan makan dari hasil buruan anjing tanpa memerintahkan kita untuk mencucinya. Sebagaimana yang Allah Ta'ala firmankan: Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad): "Apakah (makanan) yang dihalalkan bagi mereka?" Bagi menjawabnya katakanlah: "Dihalalkan bagi kamu (memakan) yang lazat-lazat serta baik, dan (buruan yang ditangkap oleh) binatang-binatang pemburu yang telah kamu ajar (untuk berburu) mengikut cara pelatih-pelatih binatang pemburu. Kamu mengajar serta melatihnya (adab peraturan berburu) sebagaimana yang telah diajarkan Allah kepada kamu. Oleh itu makanlah dari apa yang mereka tangkap untuk kamu dan sebutlah nama Allah atasnya. [al-Maidah 5:04] 
Sedangkan saya sendiri (al-Qaradhawi) cenderung pada pendapat Imam Malik bahwa semua yang hidup adalah suci. Demikianlah juga dengan anjing. Dalam zatnya dia suci. Oleh sebab itulah, dibolehkan bagi kita untuk memakan hasil buruannya. Dan perintah Nabi untuk mencuci apa yang dijilat anjing adalah sesuatu yang bersifat ta'abbudi. Sedangkan penemuan ilmu moden tentang sesuatu yang menyangkut air liur anjing bahwa di dalamnya ada penyakit-penyakit, kemungkinan penemuan selanjutnya akan lebih mengejutkan."

Sekian al-Qaradhawi dalam bukunya yang terbaru – Fiqh al-Thaharah (edisi Indonesia atas judul yang sama, al-Kautsar, Jakarta 2004), ms. 21-22. Perhatikan juga bahawa kata-kata terakhir al-Qaradhawi tentang kajian ilmu kedoktoran – sama ada berpenyakit atau tidak air liur anjing – merupakan pendapat beliau yang terbaru, membatalkan pendapat beliau yang lama dalam al-Halal wa al-Haram fi al-Islam.

Seterusnya timbul persoalan – Jika anjing tidak najis, haruskah kita mencuci jilatannya jika ia menjilat kita atau perkakas kita?

Jawapannya ya, berdasarkan hadis Rasulullah S.A.W yang menyuruh kita mencuci jilatan anjing. Kita mencucinya bukan kerana ia najis tetapi kerana taat kepada perintah Rasulullah S.A.W. 

Kemudian, apakah cucian tersebut wajib dengan tujuh kali basuhan diawali dengan campuran tanah atau boleh dicuci dengan apa sahaja yang bersifat menyucikan? Di sini para fuqaha berbeza pendapat sama ada boleh menggunakan sabun bagi menggantikan tanah. Syaikh al- Qaradhawi dalam bukunya Fiqh al-Thaharah, ms 61-63 menerangkan bahawa sebahagian fuqaha Syafi`iyyah dan Hanabilah kontemporer membolehkan penggunaan sabun. Bahkan Mazhab Maliki mengatakan penggunaan tanah/debu adalah tidak wajib, ia sunnah sahaja.

Pendapat yang dipertengahan lagi mendekati hadis-hadis Rasulullah S.A.W ialah mencuci jilatan anjing dengan tujuh kali basuhan diawali dengan campuran tanah. Akan tetapi jika tidak ditemui tanah atau pada saat itu tidak sesuai untuk menggunakan tanah maka dibolehkan menggunakan sabun atau apa jua yang sifatnya menyucikan. Ini kerana mencuci jilatan anjing ialah duduk dalam bab ketaatan kepada perintah syari`at dan ketaatan ini adalah berdasarkan kemampuan setiap individu berdasarkan kesenangan dan kesukaran yang dihadapinya. Jika menghadapi kesukaran untuk mentaatinya maka syari`at memberi kelonggaran sekadar mana yang perlu.
Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman: "Oleh itu bertaqwalah kamu kepada Allah sedaya upaya kamu; dan dengarlah (akan pengajaran- pengajaranNya) serta taatlah (akan perintah-perintahNya)." [al- Taghabun 64:16]

Sabda Rasulullah S.A.W:


"Apa sahaja yang aku larang kamu daripadanya maka tinggalkanlah ia dan apa sahaja yang aku perintahkan kamu dengannya maka lakukanlah ia sedaya upaya kamu." [Shahih Muslim no: 1337, Hadis 40 Imam al-Nawawi, # 9]

==========================================================
Asslaamulaikum Warohmatullahi wabarokatuh.
Ustadz, saya mohon penjelasan tentang dasar hukum haramnya anjing, karena dalam QS Al-Maidah ayat ke 3 hanya menjelaskan tentang daging babi. Lalu bagaimana halnya dengan kisah Ashhabul Kahfi yang membawa anjing dalam persembunyiannya. Demikian pertannyaan saya. Jazakallah khoiron katsiro atas jawaban Ustadz.
Sribudi_sgt
sribudi_sgt

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Hukum yang terkait dengan najisnya air liur anjing bukan didasarkan pada ayat Al-Quran tetapi didasarkan dari sunnah nabawiyah. Kalau anda cari di dalam Al-Quran, tidak akan didapat dalilnya.
Tetapi di luar Al-Quran, kita punya sumber syariah yang lain, yaitu Sunnah Nabawiyah. Sunnah nabawiyah adalah semua perbuatan, perkataan dan hal yang didiamkan oleh Rasulullah SAW.
Sama dengan Al-Quran, kedudukan sunnah nabawiyah pada hakikatnya adalah wahyu dari Allah juga, tetapi beda format dibandingkan dari Al-Quran. Tidak boleh kita membedakan dalil yang terdapat yang ada di dalam Al-Quran dengan dalil yang terdapat di dalam hadits.
Bukankah di dalam Al-Quran tidak pernah disebutkan bahwa dalam sehari semalam kita wajib shalat sebanyak lima kali dan 17 rakaat? Bukankah di dalam Al-Quran juga tidak disebutkan najisnya (maaf) kotoran manusia dan juga air kencing? Lalu kalau tidak disebutkan di dalam Al-Quran, apakah kita akan bilang bahwa air kencing dan kotoran manusia itu suci boleh dimakan? Dan apakah kita akan mengatakan bahwa kalau seseorang habis buang air kecil dan besar, boleh langsung solat hanya karena di dalam Al-Quran tidak disebutkan kenajisannya?
Dalam memahami syariah Islam, kita diharamkan hanya berdalil pada Al-Quran saja tanpa melihat kepada sunnah nabawiyah. Kufur kepada sunnah nabawiyah sama saja artinya dengan kufur kepada Al-Quran. Karena sunnah nabawiyah itu bersumber dari wahyu Allah SWT juga.
Dalil Najisnya Air Liur Anjing
Adapun dalil dari sunnah yang telah diterima semua ulama tentang najisnya air liur anjing adalah sebagai berikut:
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Bila seekor anjing minum dari wadah milik kalian, maka cucilah 7 kali. (HR Bukhari 172, Muslim 279, 90).
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إذا شرب الكلب في إناء أحدكم فليغسله سبعا. متفق عليه
ولأحمد ومسلم: طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله سبع مرات أولاهن بالتراب
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali." Dan menurut riwayat Ahmad dan Muslim disebutkan salahsatunya dengan tanah." (HR Muslim 279, 91, Ahmad 2/427)
Maka seluruh ulama sepakat bahwa air liur anjing itu najis, bahkan levelnya najis yang berat (mughallazhah). Sebab untuk mensucikannya harus dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan menggunakan tanah.
Siapa yang menentang hukum ini, maka dia telah menentang Allah dan rasul-Nya. Sebab Allah SWT dan Rasulullah SAW telah menegaskan kenajisan air liur anjing itu.
Khilaf Dalam Penetapan Najisnya Tubuh Anjing
Seluruh ulama telah membaca hadits-hadits di atas, tentunya mereka semua sepakat bahwa air liur anjing itu najis berat.
Namun yang disepakati adalah kenajisan air liurnya. Lalu bagaimana dengan kenajisan tubuh anjing, dalam hal ini umumnya ulama mengatakan bahwa karena air liur itu bersumber dari tubuh anjing, maka otomatis tubuhnya pun harus najis juga. Sangat tidak masuk akal kalau kita mengatakan bahwa wadah air yang kemasukan moncong anjing hukumnya jadi najis, sementara tubuh anjing sebagai tempat munculnya air liur itu kok malah tidak najis.
Namun kita akui bahwa ada satu pendapat menyendiri yang mengatakan bahwa tubuh anjing itu tidak najis. Yang najis hanya air liurnya saja. Karena hadits-hadits itu hanya menyebut air liurnya saja, tidak menyebutkan bahwa badan anjing itu najis. Pendapat ini dikemukakan oleh para ulama kalangan mazhab Malikiyah. Meski kurang masuk akal, namun kita hormati pendapat mereka dengan alur logika berfikirnya.
Namun yang pasti, ulama kalangan mazhab Maliki tidak pernah menolak dalil dari sunnah nabawiyah. Mereka bukan ingkarussunnah yang hanya memakai Quran lalu kafir kepada hadits. Mereka adalah mazhab fiqih yang beraliran ahlussunnah wal jamaah juga.
Lebih dalam tentang bagaimana perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kenajisan anjing ini, kita bedah satu persatu sesuai apa yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih rujukan utama.
a. Mazhab Al-Hanafiyah
Dalam mazhab ini sebagaimana yang kita dapat dikitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 64, kitab Al-Badai` jilid 1 halaman 63, disebutkan bahwa
yang najis dari anjing ada tiga, yaitu: air liur, mulut dan kotorannya.
Sedangkan tubuh dan bagian lainnya tidak dianggap najis. Kedudukannya sebagaimana hewan yang lainnya, bahkan umumnya anjing bermanfaat banyak buat manusia. Misalnya sebagai hewan penjaga atau pun hewan untuk berburu. Mengapa demikian?
Sebab dalam hadits tentang najisnya anjing, yang ditetapkan sebagai najis hanya bila anjing itu minum di suatu wadah air. Maka hanya bagian mulut dan air liurnya saja (termasuk kotorannya) yang dianggap najis.
b. Mazhab Al-Malikiyah
Seperti sudah disebutkan di atas, nazhab inimengatakan bahwa badan anjing itu tidak najis kecuali hanya air liurnya saja. Bila air liur anjing jatuh masuk ke dalam wadah air, wajiblah dicuci tujuh kali sebagai bentuk ritual pensuciannya.
Tetapi karena dalil sunnah nabawiyah tidak menyebutkan najisnya tubuh anjing, maka logika fiqih mereka mengantarkan mereka kepada pendapat bahwa tubuh anjing tidak najis.
Silahkan periksa kitab Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 83 dan As-Syarhus-Shaghir jilid 1 halaman 43.
c. Mazhab As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah
Kedua mazhab ini sepakat mengatakan bahwa bukan hanya air liurnya saja yang najis, tetapi seluruh tubuh anjing itu hukumnya najis berat, termasuk keringatnya. Bahkan hewan lain yang kawin dengan anjing pun ikut hukum yang sama pula. Dan untuk mensucikannya harus dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.
Logika yang digunakan oleh mazhab ini adalah tidak mungkin kita hanya mengatakan bahwa yang najis dari anjing hanya mulut dan air liurnya saja. Sebab sumber air liur itu dari badannya. Maka badannya itu juga merupakan sumber najis. Termasuk air yang keluar dari tubuh itu juga,air kencing, kotoran dan juga keringatnya.
Pendapat tentang najisnya seluruh tubuh anjing ini juga dikuatkan dengan hadits lainnya antara lain:
Bahwa Rasululah SAW diundang masuk ke rumah salah seorang kaum dan beliau mendatangi undangan itu. Di kala lainya, kaum yang lain mengundangnya dan beliau tidak mendatanginya. Ketika ditanyakan kepada beliau apa sebabnya beliau tidak mendatangi undangan yang kedua, beliau bersabda,"Di rumah yang kedua ada anjing sedangkan di rumah yang pertama hanya ada kucing. Dan kucing itu itu tidak najis." (HR Al-Hakim dan Ad-Daruquthuny).
Dari hadits ini bisa dipahami bahwa kucing itu tidak najis, sedangkan anjing itu najis. Lihat kitab Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 78, kitab Kasy-syaaf Al-Qanna` jilid 1 halaman 208 dan kitab Al-Mughni jilid 1 halaman 52.
Anjing Ashabul Kahfi
Kisah ashabul kafi yang menghuni gua dan memiliki anjing, sama sekali tidak ada kaitannya dengan hukum najisnya anjing. Ada dua alasan mengapa kami katakan demikian.
Pertama, mereka bukan umat nabi Muhammad SAW. Maka syariat yang turun kepada mereka tidak secara otomatis berlaku buat kita. Kecuali ada ketetapan hukum dari Rasulullah SAW.
Kedua, kisah itu sama sekali tidak memberikan informasi tentang hukum tubuh anjing, apakah najis atau tidak. Kisah itu hanya menceritakan bahwa di antara penghuni gua, salah satunya ada anjing.
Dan memelihara anjing dalam Islam tidak diharamkan, terutama bila digunakan untuk hal-hal yang berguna. Seperti untuk berburu, mencari jejak dan sebagainya. Bahkan kita dibolehkan memakan hewan hasil buruan anjing telah diajar. Al-Quran mengistilahkannya dengan sebutan: mukallab.
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُم مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللّهُ فَكُلُواْ مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Mereka menanyakan kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.(QS. Al-Maidah: 4)
Menurut para ahli tafsir, yang dimaksud dengan binatang buas yang telah diajar dengan melatihkan untuk berburu di dalam ayat ini adalah anjing pemburu. Tentu bekas gigitannya pada tubuh binatang buruan tidak boleh dimakan. Tapi selain itu, hukumnya boleh dimakan dan tidak perlu disembelih lagi.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

 http://n4il4.multiply.com/journal/item/199/Hukum_memelihara_anjing_dan_berburu_menggunakan_anjingdalam_Islam?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

Sabtu, 14 April 2012

Ujian dan Musibah


Sedikit peringatan untuk kita semua: `Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.` (Surah Al-Baqarah: ayat 155)
`Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.` (Surah Al-Baqarah: ayat 286)

Kamis, 12 April 2012

Al-Matsurat : Do'a & Dzikir Pagi Hari

أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
A'udzubillahis sami'il 'aliimi minas-syaithonirrojiim.
"Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dari kejahatan setan yang terkutuk".

Bismillahir-rahmanir-rahim...... (Surat Al-Fatihah)
"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang".

Surat Al-Baqarah: 1-5

Ayat Kursi (Surat Al-Baqarah: )
اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Surat Al-Baqarah: 284-286

Surat Al-Ikhlas (3x)
بَسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ .......
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ 
اللهُ الصَّمَدُ 
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Surat Al-Falaq (3x)
بَسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ......
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ 
مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ 
وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ 
وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ 
وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
Surat An-Naas (3x)
بَسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ .......
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ 
مَلِكِ النَّاسِ 
إِلَهِ النَّاسِ 
مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ 
الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ
مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ


----------------

أَصْبَحْنَا وَأَصْبَحَ الْمُلْكُ للهِ - وَالْحَمْدُ للهِ لَا شَرِيكَ لَهُ - لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَوَإِلَيْهِ النُّشُورُ ٭

أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ الْإِسْلَامِ - وَ كَلِمَةِ الْإِخْلَاصِ - وَعَلَى دِينِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَى اللهُ عَلِيهِ وَسَلَّمَ - وَعَلَى مِلَّةِ أَبِينَا إِبْرَاهِيمَ حَنِيفَاً مُسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ٭


اَللَّهُمَّ إِنِّىْ أَصْبَحْتُ (أَمْسَيْتُ) مِنْكَ فِىْ نِعْمَةٍ وَعَافِيَةٍ وَسِتْرٍ - فَأَتِمَّ عَلَىَّ نِعْمَتَكَ وَعَافِيَتَكَ وَسِتْرَكَ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ ٭


اللَّهُمَّ مَا أَصْبَحَ بِي مِنْ نِعْمَةٍ أَوْ بِأَحَدٍ مِنْ خَلْقِكَ فَمِنْكَ وَحْدَكَ لَا شَرِيكَ لَكَ - فَلَكَ الْحَمْدُ وَلَكَ الشُّكْرُ ٭

يَا رَبِّ  لَكَ الْحَمْدُ كَمَا ينبغى لجلال وجهك وعظيم سلطانك ٭


رَضِيتُ باللهِ رَبَّاً وَبِالْإِسْلَامِ دِيناً - وَبِمُحَمَّدٍ صَلَى اللهُ عَلِيهِ وَسَلَّمَ نَبِيَّاً ٭

سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ وَرِضَا نَفْسِهِ وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ ٭

بِسْمِ اللهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ - وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ٭

اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا نَعْلَمُهُ  
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ ٭

الَّلهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ - وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ - وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ البُخْلِ - وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ غَلَبَةِ الدَّينِ وقَهْرِ الرِّجَالِ ٭


اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَدَنِيْ . اَللَّهُمَّ عَا فِنِيْ فِيْ سَمْعِيْ . اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ - لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ ٭

اللّهُـمَّ إِنّـي أَعـوذُبِكَ مِنَ الْكُـفر وَالفَـقْر ، وَأَعـوذُبِكَ مِنْ عَذابِ القَـبْر ،  لَا إلهَ إلاّ أَنْـتَ ٭

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لّا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ - خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتَ - أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتَ - أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ بِذَنْبِي  - فَاغْفِر لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ ٭


أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيمُ - الَّذِي لآ إِلَهَ إِلَّا هُوَ اْلحَيُّ اْلقَيُّوْمُ - وَأَتُوبُ إِلَيْهِ ٭

اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلَّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ - وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ - كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى  سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ - وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا  إِبْرَاهِيْمَ -  وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ - وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ - كَمَا بَارَكْتَ عَلَىسَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ - وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا  إِبْرَاهِيْمَ - فِي الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ ٭

سُبْحَانَ اللهُ وَالحَمْذُ للهِ - وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ - وَ اللهُ اَكبَر ٭

لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ٭



Rabu, 11 April 2012

Perginya "juru damai" KH Abdullah Faqih

Innalillahi, pengasuh Pesantren Langitan, Widang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, KH Abdullah Faqih (82) telah pergi meninggalkan ribuan santri dan pengagumnya pada Rabu (29/2) pukul 19.00 WIB.

"Abah (ayah) meninggal dunia karena memang sudah `sepuh` (sangat tua), namun ayah memang sempat masuk Graha Amerta RSUD dr Soetomo Surabaya pada 2 Oktober 2011 hingga sekitar seminggu," ucap KH Ubaidillah Faqih, putra almarhum KH Abdullah Faqih.

Salah seorang dari 10 putra almarhum itu menceritakan, ayahandanya menjalani perawatan di Graha Amerta setelah mengalami stroke ringan akibat jatuh, namun setelah membaik akhirnya menjalani perawatan di rumah hingga meninggal dunia pada 29 Februari 2012.

Para wartawan yang ikut menjadi saksi saat-saat melambungnya nama "guru spiritual" almarhum Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada awal era reformasi (1998) itu akan tahu betapa almarhum tidak menyukai publikasi.

"Kami menerima pesan dari kiai, kiai tidak bersedia menerima wartawan," ujar santri almarhum bila ada wartawan yang datang untuk mewawancarainya.

Ya, nama Kiai Abdullah Faqih mencuat menjelang Sidang Umum MPR 1998, terutama berkaitan dengan pencalonan Gus Dur sebagai presiden, sehingga para wartawan pun memburunya.

Saat itu, suara kalangan "nahdliyin" (warga NU) terbelah, ada yang mendukung pencalonan Gus Dur dan ada yang sebaliknya.

Dalam situasi seperti itu, sejumlah kiai sepuh NU mengadakan pertemuan di Langitan, sehingga muncul istilah "Poros Langitan" yang fatwanya sangat berpengaruh pada pencalonan Gus Dur.

Pesan Kiai Abdullah Faqih untuk Gus Dur itu dibawa KHA Hasyim Muzadi (mantan Ketua Umum PBNU). Pesannya, "Kalau memang Gus Dur maju, ulama akan mendoakan". Restu Kiai Faqih itu membuat Gus Dur meneteskan air mata dan memeluk KHA Hasyim Muzadi.

"Sampaikan salam hormat saya kepada Kiai (Faqih). Katakan, Abdurrahman sampai kapan pun tetap seorang santri yang patuh kepada ucapan kiai," tutur Gus Dur kepada Hasyim Muzadi.

Namun, para wartawan tidak pernah menerima cerita itu langsung dari Kiai Faqih, karena kiai yang mengasuh lebih dari 3.000 santri itu memang tidak suka publikasi. Di mata para santri, "sang guru" memang sederhana, istiqomah, dan alim.

Kesederhanaan itu terlihat dari tempat tinggalnya yang terbuat dari kayu berwarna janur kuning dengan ukuran sekitar 7 x 3 meter dan di dalamnya ada seperangkat meja kursi kuno dan dua lemari berisi kitab-kitab, meski anak-anak almarhum tinggal di rumah berlantai dua.

Kiai Faqih lahir di Dusun Mandungan, Desa Widang, Tuban. Saat kecil, ia lebih banyak belajar kepada ayahandanya sendiri, KH Rofi`i Zahid.

Ketika beranjak remaja, Kiai Faqih "nyantri" pada Mbah Abdur Rochim di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Kiai Faqih juga pernah tinggal di Mekkah, Arab Saudi, untuk belajar kepada Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki, ayahnya Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki.

Setelah itu, Kiai Faqih kembali ke Pesantren Langitan yang didirikan pada l852 oleh KH Muhammad Nur, asal Desa Tuyuban, Rembang. Pesantren Langitan yang terletak di tepi Bengawan Solo yang melintasi Desa Widang (dekat Babat Lamongan) itu dikenal sebagai pesantren ilmu alat.

Para generasi pertama NU pernah belajar di Langitan, di antaranya KH Muhammad Cholil (Bangkalan), KH Hasyim Asy`ari, KH Wahab Hasbullah, KH Syamsul Arifin (ayahnya KH As`ad Syamsul Arifin), dan KH Shiddiq (ayahnya KH Ahmad Shiddiq).

Kiai Faqih (generasi kelima) memimpin Pesantren Langitan sejak l971, menggantikan KH Abdul Hadi Zahid yang meninggal dunia karena usia lanjut. Kiai Faqih didampingi KH Ahmad Marzuki Zahid, yang juga pamannya.

Meski tetap mempertahankan nilai-nilai salaf, Pesantren Langitan di era Kiai Faqih lebih terbuka. Ia mendirikan Pusat Pelatihan Bahasa Arab, kursus komputer, mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK) dan Taman Pendidikan Al Quran (TPA). Ada juga badan usaha milik pondok berupa toko induk, kantin, dan wartel.

Kiai bersahaja itu juga mengarahkan pesantrennya agar lebih dekat dengan masyarakat, di antaranya ia mengirim dai ke daerah-daerah sulit di Jawa Timur dan luar Jawa.

Selain itu, Kiai Faqih juga menginstruksikan para santrinya Shalat Jumat di kampung-kampung, lalu membuka pengajian umum di pesantren di dekatnya.

Sosok teladan

Di balik kesederhanaan dan sikap anti-publikasi, Kiai Abdullah Faqih juga merupakan sosok teladan yang mementingkan masyarakat luas.

Untuk kepentingan masyarakat itulah, Kiai Faqih pernah meminta Gus Dur mencium tangan pamanda KH Yusuf Hasyim yang saat itu berseberangan dengannya. Gus Dur pun patuh kepada "sang guru".

Tidak jauh dari itu, Kiai Faqih jugalah yang mengajak Gus Dur dan KHA Hasyim Muzadi untuk bersalaman ketika keduanya "bermasalah".

Sikap Kiai Faqih yang sederhana, anti-publikasi, dan juga suka damai itu diakui Ketua Umum DPP PKNU H Choirul Anam yang akrab disapa Cak Anam.

"Saya sendiri sempat menjenguk beliau pada hari Ahad (26/2) lalu," kata salah seorang tokoh Ansor NU Jatim yang dikenal sebagai "orang dekat" Kiai Abdullah Faqih itu.

Pada pertemuan terakhir itu (26/2), katanya, dirinya sempat bertemu selama lima menit, namun dirinya sempat tertegun karena Kiai Abdullah Faqih sempat menangis.

"Almarhum mengatakan kamu ke sini (meminta untuk mendekat). Beliau meminta saya untuk berjuang terus. Saya izinkan kamu, saya ridhoi, kamu berjuang terus, jangan khilaf, ajak bersatu semua kawan," katanya, mengutip pesan almarhum.

Ditanya tentang sosok Kiai Abdullah Faqih, Cak Anam yang juga mantan wartawan itu menilai Kiai Abdullah Faqih merupakan sosok yang jarang berbicara tentang kedudukan (jabatan) dan "dunia" (uang).

"Beliau selalu mementingkan kejujuran dan moralitas. Kalau mendapat sumbangan dari orang, beliau selalu memilah, menyisihkan, dan akhirnya dikembalikan kepada kepentingan masyarakat," katanya.

Bahkan, kata penulis buku "babon" tentang NU itu, Kiai Abdullah Faqih sering menyumbang kegiatan PKNU dengan uang pribadi.

"Ketika PKNU akan bermuktamar, beliau bertanya apa sudah siap? Beliau pun menyerahkan sumbangan," katanya.

Oleh karena itu, kepergian Kiai Abdullah bukan hanya PKNU yang kehilangan. "Bukan hanya PKNU atau NU yang kehilangan beliau, tapi bangsa ini kehilangan sosok teladan yang lebih memikirkan orang lain daripada dirinya," katanya.

Rasa kehilangan juga dilontarkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj. Ia menyatakan wafatnya KH Abdullah Faqih merupakan kehilangan besar bagi bangsa Indonesia.

"Wafatnya beliau merupakan kehilangan besar bagi kita, bukan hanya NU, tapi juga bangsa Indonesia," katanya.

Hal senada juga diungkap Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muslimat Nahdlatul Ulama Khofifah Indar Parawansa. Ia mengatakan, Indonesia kehilangan salah satu tokoh penyangga kekuatan spiritual dengan wafatnya KH Abdullah Faqih.

"Kiai Faqih merupakan salah satu penyangga kekuatan spiritual bangsa Indonesia. Saat negara mengalami berbagai krisis, beliau menggerakkan istighatsah dan berbagai wirid atau amalan keagamaan untuk memohon pertolongan Allah," katanya.

Di lingkungan NU, kata Khofifah, Kiai Abdullah Faqih merupakan sosok kiai sepuh yang menjadi panutan, sedangkan di pentas nasional Kiai Faqih mulai dikenal dan didengar serta diperhatikan berbagai pemikiran kebangsaannya saat awal reformasi.

"Gus Dur sendiri sering menjadikan fatwa Kiai Faqih sebagai referensi gerakan reformasi, misalnya saat mendirikan PKB dan saat mengambil keputusan pencalonan sebagai presiden," katanya.

Sabtu, 07 April 2012

Khurasan, Tanah Matahari Terbit


Khurasan, Tanah Matahari Terbit (1)


Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, "(Pasukan yang membawa) bendera hitam akan muncul dari Khurasan. Tak ada kekuatan yang mampu menahan laju mereka dan mereka akhirnya akan mencapai Yerusalem, di tempat itulah mereka akan mengibarkan benderanya." (HR. Tirmidzi).

Khurasan merupakan wilayah yang terbilang amat penting dalam sejarah peradaban Islam. Jauh sebelum pasukan tentara Islam menguasai wilayah itu, Rasulullah SAW dalam beberapa haditsnya telah menyebut-nyebut nama Khurasan. Letak geografis Khurasan sangat strategis dan banyak diincar para penguasa dari zaman ke zaman.

Pada awalnya,Khurasan Raya merupakan wilayah sangat luas membentang meliputi Kota Nishapur dan Tus (Iran); Herat, Balkh, Kabul dan Ghazni (Afghanistan); Merv dan Sanjan (Turkmenistan), Samarkand dan Bukhara (Uzbekistan); Khujand dan Panjakent (Tajikistan); Balochistan (Pakistan, Afghanistan, Iran).

Kini, nama Khurasan tetap abadi menjadi sebuah nama provinsi di sebelah Timur Republik Islam Iran. Luas provinsi itu mencapai 314 ribu kilometer persegi. Khurasan Iran berbatasan dengan Republik Turkmenistan di sebelah Utara dan di sebelah Timur dengan Afghanistan. Dalam bahasa Persia, Khurasan berarti ‘Tanah Matahari Terbit.’

Jejak peradaban manusia di Khurasan telah dimulai sejak beberapa ribu tahun sebelum masehi (SM). Sejarah mencatat, sebelum Aleksander Agung pada 330SM menguasai wilayah itu, Khurasan berada dalam kekuasaan Imperium Achaemenid Persia. Semenjak itu, Khurasan menjelma menjadi primadona yang diperebutkan para penguasa.

Pada abad ke-1 M, wilayah timur Khurasan Raya ditaklukkan Dinasti Khusan. Dinasti itu menyebarkan agama dan kebudayaan Budha. Tak heran, bila kemudian di kawasan Afghanistan banyak berdiri kuil. Jika wilayah timur dikuasai Dinasti Khusan, wilayah barat berada dalam genggaman Dinasti Sasanid yang menganut ajaran zoroaster yang menyembah api.

Khurasan memasuki babak baru ketika pasukan tentara Islam berhasil menaklukkan wilayah itu. Islam mulai menancapkan benderanya di Khurasan pada era Kekhalifahan Umar bin Khathab. Di bawah pimpinan komandan perang, Ahnaf bin Qais, pasukan tentara Islam mampu menerobos wilayah itu melalui Isfahan.

Dari Isfahan, pasukan Islam bergerak melalui dua rute yakni Rayy dan Nishapur. Untuk menguasai wilayah Khurasan, pasukan umat Islam disambut dengan perlawanan yang amat sengit dari Kaisar Persia bernama Yazdjurd. Satu demi satu tempat di Khurasan berhasil dikuasai pasukan tentara Islam. Kaisar Yazdjurd yang terdesak dari wilayah Khurasan akhirnya melarikan diri ke Oxus.

Setelah Khurasan berhasil dikuasai, Umar memerintahkan umat Muslim untuk melakukan konsolidasi di wilayah itu. Khalifah tak mengizinkan pasukan tentara Muslim untuk menyeberang ke Oxus. Umar lebih menyarankan tentara Islam melakukan ekspansi ke Transoxiana.

Sepeninggal Umar, pemberontakan terjadi di Khurasan. Wilayah itu menyatakan melepaskan diri dari otoritas Muslim. Kaisar Yazdjurd menjadikan Merv sebagai pusat kekuasaan. Namun, sebelum Yadzjurd berhadapan lagi dengan pasukan tentara Muslim yang akan merebut kembali Khurasan, dia dibunuh oleh pendukungnya yang tak loyal.

Khurasan, Tanah Matahari Terbit (2)

Khalifah Utsman bin Affan yang menggantikan Umar tak bisa menerima pemberontakan yang terjadi di Khurasan. Khalifah ketiga itu lalu memerintahkan Abdullah bin Amir, Gubernur Jenderal Basrah, untuk kembali merebut Khurasan. Dengan jumlah pasukan yang besar, umat Islam mampu merebut kembali Khurasan.

Ketika Dinasti Umayyah berkuasa, Khurasan merupakan bagian dari wilayah pemerintahan Islam yang berpusat di Damaskus. Penduduk dan pemuka Khurasan turut serta membantu Dinasti Abbasiyah untuk menggulingkan Umayyah. Salah satu pemimpin Khurasan yang turut mendukung gerakan anti-Umayyah itu adalah Abu Muslim Khorasani antara tahun 747 M hingga 750 M.

Setelah Dinasti Abbasiyah berkuasa, Abu Muslim justru ditangkap dan dihukum oleh Khalifah Al-Mansur. Sejak itu, gerakan kemerdekaan untuk lepas dari kekuasaan Arab mulai menggema di Khurasan. Pemimpin gerakan kemerdekaan Khurasan dari Dinasti Abbasiyah itu adalah Tahir Phosanji pada tahun 821 M.

Ketika kekuatan Abbasiyah mulai melemah, lalu berdirilah dinasti-dinasti kecil yang menguasai Khurasan. Dinasti yang pertama muncul di Khurasan adalah Dinasti Saffariyah (861 M-1003 M). Setelah itu, Khurasan silih berganti jatuh dari satu dinasti ke dinasti Iran yang lainnya. Setelah kekuasaan Saffariyah melemah, Khurasan berada dalam genggaman Dinasti Iran lainnya, yakni Samanid.

Setelah itu, Khurasan menjadi wilayah kekuasaan orang Turki di bawah Dinasti Ghaznavids pada akhir abad ke-10 M. Seabad kemudian, Khurasan menjadi wilayah kerajaan Seljuk. Pada abad ke-13 M, bangsa Mongol melakukan invasi dengan menghancurkan bangunan serta membunuhi penduduk di wilayah Khurasan.

Pada abad ke-14 M hingga 15 M, Khurasan menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Timurid yang didirikan Timur Lenk. Khurasan berkembang amat pesat pada saat dikuasai Dinasti Ghaznavids, Ghazni dan Timurid. Pada periode itu Khurasan menggeliat menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Tak heran, jika pada masa itu lahir dan muncul ilmuwan, sarjana serta penyair Persia terkemuka.

Sederet literatur Persia bernilai tinggi ditulis pada era itu. Nishapur, Herat, Ghazni dan Merv kota-kota penting di Khurasan menjadi pusat berkembangnya kebudayaan. Memasuki abad ke-16 M hingga 18, Khurasan berada dalam kekuasaan Dinasti Moghul. Di setiap periode, Khurasan selalu menjadi tempat yang penting.

Bangunan-bangunan bersejarah yang kini masih berdiri kokoh di Khurasan menjadi saksi kejayaan Khurasan di era kekhalifahan. Selain itu, naskah-naskah penting lainnya yang masih tersimpan dengan baik membuktikan bahwa Khurasan merupakan tempat yang penting bagi pengembangan ajaran Islam.

Baru-baru ini, Khurasan juga menjadi perbincangan. Kabarnya, dari daerah itulah Dajjal akan muncul. Bahkan, kabarnya Dajjal sudah muncul di Khurasan. Benarkah?Wallahua'lam. 

Khurasan, Tanah Matahari Terbit (3)

Para Penguasa Timurid di Khurasan
Babur Ibnu Baysunkur (1449 M-1457 M) Babur Ibnu Baysunkur atau yang lebih dikenal sebagai Abu’l-Qasim Babur merupakan penguasa pertama Dinasti Timurid di Khurasan. Dia memerintah selama delapan tahun. Babur merupakan cucu dari Syahrukh Mirza penguasa ketiga Dinasti Timurid di Samarkand.

Ia menguasai khurasan setelah wilayah itu sempat mengalami kekosongan kekuasaan. Dua daerah pertama yang didudukinya di wilayah Khurasan Raya adalah Mashad dan Herat pada 1449 M. Babur merupakan salah satu dari tiga penguasa paling penting di Dinasti Timurid setelah Ulugh Beg dan Sultan Muhammad.

Shah Mahmud (1446 M-1460 M)Mahmud adalah putera Babur. Ia menggantikan posisi sang ayah sebagai penguasa Khurasan pada 1457 M. Mahmud merupakan cicit dari Timur Lenk, pendiri Dinasti Timurid. Uniknya, Mahmud menduduki tahta dalam usia 11 tahun. Beberapa pekan setelah naik tahta, Mahmud diusir sepupunya, Ibrahim dari Herat. Dia tak bisa bertahan lama memimpin di Khurasan.

Abu Said bin Muhammad (1424 M-1469 M)Sama seperti halnya Mahmud, Abu Sa’id juga merupakan cicit Timur Lenk. Dia masih kemenakan Ulughbeg. Sebagai keturunan Timur ‘Sang Penakluk Dunia’, Abu Said juga memiliki semangat yang tinggi untuk menguasai wilayah seluas-luasnya. Di awal kekuasaannya, dia memperkuat barisan tentara untuk mengambil alih Samarkand dan Bukhara, namun gagal.

Abu Said lalu memperkuat basisnya di Yasi dan akhirnya mampu menguasai Turkistan pada 1450. Setahun kemudian, pasukan Abu Said berhasil menguasai Samarkand setelah mendapat bantuan dari Uzbek Turk di bawah pimpinan Abu’l-Khayr Shaybani Khan.

Yadigar Muhammad (1469 M-1470 M)Cucu Syahrukh ini menguasai wilayah Khurasan pada 1469 hingga 1470. Dia mengendalikan kekuasaan Dinasti Timurid dari Herat.

Husein Bayqara Cicit pendiri Dinasti Timurid, Timur Lenk itu menguasai Khurasan selama 37 tahun. Di bawah kepemimpinannya, Khurasan mengalami perkembangan dan kemajuan yang terbilang amat berarti.

Badi’ Az-ZamanDia adalah penguasa terakhir Dinasti Timurid di Khurasan. Badi’ adalah anak dari penguasa Timurid sebelumnya, yakni Husein Bayqara. Sebelum berkuasa, dia sempat bentrok dengan sang ayah. Di masa kepemimpinannya, Dinasti Timurid dilanda konflik. Hingga akhirnya dia meninggal pada tahun 1517. Setelah itu, kekuasaan Timurid di Khurasan pun mulai lenyap. 

Khurasan, Tanah Matahari Terbit (4-habis)

Saksi Sejarah Kejayaan Khurasan

Sebagai salah satu wilayah terpenting dalam sejarah peradaban Islam, Khurasan begitu kaya akan peninggalan bersejarah yang amat berharga. 

Warisan sejarah yang menjadi saksi pasang-surut Islam di setiap periode dinasti yang menguasai wilayah itu hadir dalam berbagai bentuk, baik itu bangunan keagamaan, tempat-tempat yang dikeramatkan serta beragam naskah.

Pemerintah Iran telah menetapkan tak kurang dari 1.179 tempat dan bangunan di Provinsi Khurasan sebagai cagar budaya yang dilindungi. Tempat yang paling bersejarah di Khurasan itu antara lain; tempat suci Imam Reza, Masjid Goharshad, serta kuburan-kuburan tokoh-tokoh Islam yang wafat di Tanah Matahari Terbit itu.

Di provinsi itu, tepatnya di Neyshabour, terdapat makam tiga tokoh besar yakni Fariduddin Attar, Umar Khayyam, serta Kamal-ol-molk. Tempat yang paling banyak dikunjungi di wilayah itu adalah Masjid Goharshad serta kompleks Imam Reza yang berada di jantung, Mashad. Di pusat Mashad juga terdapat makam Nadir Shah Afshar.

Bukti sejarah penting lainnya yang terdapat di Khurasan adalah menara Akhangan yang berlokasi di utara Tus. Masih di kota Tus, juga terdapat kubah Haruniyah. Di tempat itu juga terdapat makam Imam Mohammad Ghazali. Bangunan bersejarah lainnya di Tus adalah bendeng (citadel) Tus.

Selain itu sejumlah naskah penting di era kekhalifahan yang masih tersimpan juga menjadi bukti betapa pentingnya Khurasan. Di antara naskah yang penting itu adalah puisi-puisi karya penyair terkemuka, seperti Jalaluddin Rumi. Naskah penting lainnya yang berasal dari Khurasan adalah Kitab Mizan Al-Hikmah, karya Al-Khazini.