Cari Blog

Sabtu, 24 Maret 2012



Suriah bergolak sejak Maret 2011.

Kelompok teroris bersenjata telah memicu pertikaian antar aliran suku dan aliran agama. 

13 Desember 2011 --- Kelompok teroris bersenjata meledakkan pipa saluran gas di Provinsi Homs yang mengakibatkan kebocoran gas dalam jumlah besar sehingga mengakibatkan kebakaran sehingga terhenti pengiriman gas untuk sementara waktu. 
Ditempat terpisah penjaga perbatasan Suriah menggagalkan upaya penyusupan 15 pria bersenjata yang berusaha memasuki Suriah secara diam-diam dari Turki. Dalam operasi itu, terjadi kontak senjata yang menewaskan dua orang penyusup. Kelompok teroris bersenjata telah memicu pertikaian antar aliran yang memiliki banyak suku dan aliran agama ini.
Presiden Suriah Bashar al-Assad mengatakan, sebanyak 1.100 anggota Angkatan Bersenjata tewas selama kerusuhan. Sementara PBB menyebut jumlah korban jiwa mencapai 4.000 orang.

Arab Saudi dan Qatar adalah kaki tangan terorisme di Suriah. Kedua negara ini telah mendukung formasi teroris bersenjata dengan uang dan senjata..

Rusia menyediakan pesawat, misil, tank dan senjata berat lainnya sebagai dukungan terhadap rezim Assad.
Rusia dan Cina mengimbau agar secepatnya diakhiri konflik dan agar presiden Asad berdialog dengan pihak oposisi. 

Iran dan Rusia memainkan peran konstruktif dalam membantu meningkatkan keamanan di Suriah dan reformasi ekonomi serta politik.

Iran menuding Amerika Serikat (AS) sebagai biang keladi kerusuhan dan juga menuding negara-negara Eropa dan
 negara-negara Arab ikut terlibat atas kerusuhan berdarah, dengan pengiriman sejumlah besar senjata.

12 Pebruari 2012 -- Kelompok gerilyawan Irak bergerak menuju Suriah untuk mengirim senjata kepada pemberontak.

13 Maret 2012 --- Suriah menuding sejumlah negara, termasuk Qatar dan Arab Saudi, telah mendukung kelompok-kelompok militan di Suriah dan bertanggung jawab atas pertumpahan darah.
14 Maret 2012  --- Presiden Suriah, Bashar al-Assad, mengeluarkan keputusan presiden untuk mengadakan pemilihan parlemen pada 7 Mei.

14 Maret 2012 --- Italia menutup Kedutaan Besarnya di Damaskus dan memulangkan beberapa staf perwakilan sebagai bentuk protes atas tindakan keras yang dilakukan Suriah terhadap kelompok oposisi.

16 Maret 2012 --- Saudi Arabia menutup kantor kedutaan besarnya di Damaskus dan menarik seluruh diplomat dan staf. Yang sebelumnya Italia menghentikan kegiatan kedutaan besarnya di Damaskus dan memulangkan beberapa personilnya.

Minggu, 18 Maret 2012

Qunut subuh berdasar kitab Al-adzkar (Madzhab Syafi’i)Oleh Imam Nawawi 

Alhamdulillah Puji, puja dan sukurku tak henti-hentinya kepada pemilik alam semesta ini, pengatur hidup makhluk ini, pengasih dan penyayang setiap makhluknya, maha adil, maha bijaksana, maha pengampun hambanya yang kembali kepadanya. Sholawat dan Salam Allah, Malaikat dan semua makhluk, tetap tercurah tanpa henti-hentinya kepada makhluk yang paling mulia, kekasih raja alam, pemimpin manusia, Nabi muhammad SAW, beserta keluarga, para sohabat, tabi’in, tabi’u tabi’in, dan semua yang mengikuti mereka hingga Akhir alam ini.

اعلم أن القنوتَ في صلاة الصبح سنّة للحديث الصحيح فيه‏: عن أنس رضي اللّه عنه : أن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم لم يزل يقنت في الصبح حتى فارق الدنيا . رواه الحاكم أبو عبد اللّه في كتاب الأربعين، وقال‏:‏ حديث صحيح‏.‏‏

I’lam (ketahuilah) bahwa Qunut shubuh adalah sunnah berdasarkan hadits yang shahih dari Anas ra. bahwa, “Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak pernah meninggalkan qunut shubuh sampai beliau berpisah dari dunia (wafat)”. 
Hadits riwayat Imam al-Hakim Abu Abdullah didalam kitab al-‘Arbain”, Ia berkata : Hadits ini shahih.

واعلم أن القنوت مشروع عندنا في الصبح وهو سنّة متأكدة، لو تركه لم تبطل صلاته لكن يسجد للسهو سواء تركه عمداً أو سهواً‏.‏ وأما غير الصبح من الصلوات الخمس فهل يقنت فيها‏؟‏ فيه ثلاثة أقوال للشافعي رحمه اللّه تعالى‏:‏ الأصحُّ المشهورُ منها أنه إن نزل بالمسلمين نازلة قنتوا، وإلا فلا‏.‏ والثاني‏:‏ يقنتون مطلقاً‏.‏ والثالث‏:‏ لا يقنتو مطلقاً، واللّه أعلم‏.‏

Wa ’lam (dan ketahuilah), Qunut shubuh adlah masyru’ (disyariatkan) dalam pandangan kami (Syafi’iyah), hukumnya adalah sunnah muakkad, apabila meninggalkannya tidak membatalkan shalat tetapi sunnah melakukan sujud syahwi baik karena disengaja ataupun karena lupa. Adapun selain shalat shubuh dari shalat-shalat Maktubah, apakah ada qunut didalamnya ?

Dlam hal ini terdapat 3 qaul dalam madzhab Imam Syafi’I –rahimahullah ta’alaa- ; 
___ Pertama, pendapat yang ashah yang masyhur adalah apabila kaum Muslimin di timpa bencana maka qunut nazilah, jika tidak maka tidak ada qunut pada shalat maktubah selain shalat shubuh. 
___ Kedua, berqunut secara mutlak pada shalat maktubah walaupun selain shalat shubuh.
___ Ketiga, tidak ada qunut secara mutlak pada shalat maktubah selain shubuh. Wallahu A’lam.

ويستحبُّ القنوت عندنا في النصف الأخير من شهر رمضان في الركعة الأخيرة من الوتر، ولنا وجه أن يقنت فيها في جميع شهر رمضان، ووجه ثالث في جميع السنة وهو مذهبُ أبي حنيفة، والمعروف من مذهبنا هو الأوّل، واللّه أعلم

Disunnahkan berqunut dalam pandangan kami (Syafi’iyyah) pada separuh akhir bulan Ramadhan pada raka’at terakhir dari shalat witir, ada juga pendapat yang berqunut pada seluruh bulan Ramadhan, dan juga pendapat, berqunut pada seluruh shalat sunnah dan ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Dan yang bagus (ma’ruf) dari madzhab kami (Syafi’iyyah) adalah yang pertama. 
Wallahu A’lam.

‏ اعلم أن محل القنوت عندنا في الصبح بعد الرفع من الركوع في الركعة الثانية‏.‏ وقال مالك رحمه اللّه‏:‏ يقنت قبل الركوع‏.‏ قال أصحابنا‏:‏ فلو قنت شافعي قبل الركوع لم يُحسبْ له على الأصحّ، ولنا وجه أن يحسب، وعلى الأصحّ يعيده بعد الركوع ويسجد للسهو، وقيل لا يسجد،

Ketahuilah, bahwat posisi melakukan qunut shubuh menurut kami adalah setelah berdiri dari ruku’ pada raka’at kedua. Imam Malik –rahimahullah- berkata : “(posisi) berqunut adalah sebelum ruku”. Anshab kami (ulama-ulama syafi’iiyah kami) : walaupun Syafi’i berqunut sebelum ruku’ namun itu tidak di hitung menurut pendapat yang ashah, dan bagi kami berpendapat agar hal itu di hitung sebagai qunut, dan menurut pendapat yang ashah mengulangi qunutnya setelah ruku’ dan melakukan sujud syahwi. Dan dikatakan (qil) : tidak perlu sujud syahwi.”

وأما لفظه فالاختيار أن يقول فيه‏:‏ ما رويناه في الحديث الصحيح في سنن أبي داود والترمذي والنسائي وابن ماجه والبيهقي وغيرها بالإِسناد الصحيح، عن الحسن بن عليّ رضي اللّه عنهما قال‏:‏ علّمني رسولُ اللّه صلى اللّه عليه وسلم كلماتٍ أقولُهُنَّ في الوتر‏:‏ ‏”‏اللَّهُمَّ اهْدِني فِيمَنْ هَدَيْتَ، وعَافِني فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلّني فِيمَن تَوَلَّيْتَ، وبَارِكْ لِي فِيما أَعْطَيْتَ، وَقِني شَرَّ ما قَضَيْتَ، فإنَّكَ تَقْضِي وَلا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنا وَتَعالَيْتَ‏”‏‏.‏ قال الترمذي‏:‏ هذا حديث حسن، قال‏:‏ ولا نعرف عن النبيّ صلى اللّه عليه وسلم في القنوت شيئاً أحسن من هذا‏.‏ وفي رواية ذكرها البيهقي أن محمد بن الحنفية، وهو ابن علي بن أبي طالب رضي اللّه عنه قال‏:‏ إن هذا الدعاء هو الدعاء الذي كان أبي يدعو به في صلاة الفجر في قنوته‏.‏ ويستحبُّ أن يقولَ عقيب هذا الدعاء‏:‏ اللَّهُمَّ صَلّ على مُحَمَّدٍ وعلى آلِ مُحَمَّدٍ وَسَلِّم، فقد جاء في رواية النسائي في هذا الحديث بإسناد حسن ‏”‏وَصَلَى اللَّهُ على النَّبِيّ‏”‏‏.‏

Dan adapun lafadz Qunut, maka yang telah di pilih (yang baik) adalah mengatakan sebagaimana kami meriwayatkannya didalam hadits yang shahih dalam kitab Sunan Imam Abi Daud, Imam at-Turmidzi, Imam an-Nasaa’i, Imam Ibnu Majah, Imam al-Baihaqiy dan selainnya dengan isnad yang shahih, dari al-Hasan bin ‘Ali –radliyallahu ‘anhumaa- berkata : Rasulullah mengajarkan kepadaku kalimat yang dibaca dalam shalat witir ;

اللَّهُمَّ اهْدِني فِيمَنْ هَدَيْتَ، وعَافِني فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلّني فِيمَن تَوَلَّيْتَ، وبَارِكْ لِي فِيما أَعْطَيْتَ، وَقِني شَرَّ ما قَضَيْتَ، فإنَّكَ تَقْضِي وَلا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنا وَتَعالَيْتَ

Imam at-Turmidzi berkata : hadits ini hasan. Ia berkata : kami tidak mengetahui redaksi qunut yang berasal dari Nabi yang lebih bagus dari ini. Dan dalam riwayat lain, Imam al-Baihaqiy menuturkannya bahwa Muhammad bin al-Hanafiyah, yaitu Ibnu ‘Ali bin Abi Thalib –radliyallahu ‘anh- berkata : “sesungguhnya do’a ini adalah do’a yang ayahku berdo’a dengannya pada shalat shubuh didalam qunutnya”. Dan disunnahkan untuk menyambungnya dengan do’a (shalawat) ini : (اللَّهُمَّ صَلّ على مُحَمَّدٍ وعلى آلِ مُحَمَّدٍ وَسَلِّم). Sungguh dalam riwayat Imam an-Nasaa’i tentang hadits do’a qunut yang sanadnya hasan terdapat lafadz (وَصَلَى اللَّهُ على النَّبِيّ‏).

قال أصحابنا‏:‏ وإن قنت بما جاء عن عمر بن الخطاب رضي اللّه عنه كان حسناً، وهو أنه قنت في الصبح بعد الركوع فقال‏:‏ ‏”‏ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْتَعِينُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ وَلاَ نَكْفُرُكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ وَنَخْلَعُ مَنْ يَفْجُرُكَ، اللَّهُمَّ إيَّاكَ نَعْبُد، ولَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُد، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنحْفِدُ، نَرْجُو رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إنَّ عَذَابَكَ الجِدَّ بالكُفَّارِ مُلْحِقٌ‏.‏ اللَّهُمَّ عَذّبِ الكَفَرَةَ الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِكَ، ويُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ، وَيُقاتِلُونَ أوْلِيَاءَكَ‏.‏ اللَّهُمَّ اغْفِرْ للْمُؤْمِنِينَ وَالمُؤْمِناتِ والمُسْلِمِيَ والمُسْلِماتِ، وأصْلِح ذَاتَ بَيْنِهِمْ، وأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ، وَاجْعَلْ فِي قُلُوبِهِم الإِيمَانَ وَالحِكْمَةَ، وَثَبِّتْهُمْ على مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى اللّه عليه وسلم، وَأَوْزِعْهُمْ أنْ يُوفُوا بِعَهْدِكَ الَّذي عاهَدْتَهُمْ عَلَيْهِ، وَانْصُرْهُمْ على عَدُّوَكَ وَعَدُوِّهِمْ إِلهَ الحَقّ وَاجْعَلْنا مِنْهُمْ وهو موقوف صحيح موصول

Ashhab kami berkata : “Berqunut dengan redaksi dari Umar bin Khattab –radliyallahyu ‘anh- adalah bagus, dan beliu berqunut didalam shubuh setelah ruku’, kemudian berkata (berdo’a) :

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْتَعِينُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ وَلاَ نَكْفُرُكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ وَنَخْلَعُ مَنْ يَفْجُرُكَ، اللَّهُمَّ إيَّاكَ نَعْبُد، ولَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُد، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنحْفِدُ، نَرْجُو رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إنَّ عَذَابَكَ الجِدَّ بالكُفَّارِ مُلْحِقٌ‏.‏ اللَّهُمَّ عَذّبِ الكَفَرَةَ الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِكَ، ويُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ، وَيُقاتِلُونَ أوْلِيَاءَكَ‏.‏ اللَّهُمَّ اغْفِرْ للْمُؤْمِنِينَ وَالمُؤْمِناتِ والمُسْلِمِيَ والمُسْلِماتِ، وأصْلِح ذَاتَ بَيْنِهِمْ، وأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ، وَاجْعَلْ فِي قُلُوبِهِم الإِيمَانَ وَالحِكْمَةَ، وَثَبِّتْهُمْ على مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى اللّه عليه وسلم، وَأَوْزِعْهُمْ أنْ يُوفُوا بِعَهْدِكَ الَّذي عاهَدْتَهُمْ عَلَيْهِ، وَانْصُرْهُمْ على عَدُّوَكَ وَعَدُوِّهِمْ إِلهَ الحَقّ وَاجْعَلْنا مِنْهُمْ

Do’a tersebut adalah hadits mauquf yang shahih serta bersambung (maushul.)

‏.‏ ……قال أصحابنا‏:‏ يستحبّ الجمع بين قنوت عمر وما سبق، فإن جمع بينهما فالأصحّ تأخير قنوت عمر، وإن اقتصر فليقتصر على الأوّل، وإنما يُستحبّ الجمع بينهما إذا كان منفرداً أو إمامَ محصورين يرضون بالتطويل، واللّه أعلم‏.‏

Ashhab kami berkata : “disunnahkan mengumpulkan antara qunut Umar dan qunut yang sebelumnya, maka apabila mengumpulkan keduanya, yang ashah adalah mengakhirkan qunut ‘Umar. Apabila mencukupkannya (membaca salah satunya), maka dengan yang pertama. Sesungguhnya disunnahkan mengumpulkan keduanya apabila shalat sendirian atau ketika menjadi Imam yang diridloi dengan panjangnnya bacaaan. Wallahu ‘Alam.

واعلم أن القنوت لا يتعين فيه دعاء على المذهب المختار، فأيّ دعاء دعا به حصل القنوت ولو قَنَتَ بآيةٍ أو آياتٍ من القرآن العزيز وهي مشتملة على الدعاء حصل القنوت، ولكن الأفضل ما جاءت به السنّة‏.‏ وقد ذهب جماعة من أصحابنا إلى أنه يتعين ولا يجزىء غيره

Ketahuilah, sesungguhnya qunut tidak ada ketentuan do’a yang khusus didalamnya atas pendapat yang terpilih (qaul mukhtar), maka berdo’a dengan do’a tertentu (apa saja) itu sudah merupakan Qunut, walaupun juga hanya dengan satu ayat atau beberapa ayat al-Qur’an yang terdiri dari do’a, hal itu sudah bisa di sebut Qunut, tetapi yang lebih utama adalah apa yang berasal dari sunnah. Dan jama’ah dari ashhab kami memilih pendapat yang menentukannya dan tidak mencukupi dengan selainnya.

واعلم أنه يستحبّ إذا كان المصلِّي إماماً أن يقول‏:‏ اللَّهمّ اهدِنا بلفظ الجمع وكذلك الباقي، ولو قال اهدني حصل القنوت وكان مكروهاً، لأنه يكره للإِمام تخصيص نفسه بالدعاء‏.‏ وروينا في سنن أبي داود والترمذي، عن ثوبان رضي اللّه عنه قال‏:‏ قال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم‏:‏ ‏”‏لا يَؤُمَّنَّ عَبْدٌ قَوْماً فَيَخُصَّ نَفْسَهُ بِدَعْوَةٍ دُونَهُمْ، فإنْ فَعَلَ فَقَدْ خانَهُمْ‏”‏ قال الترمذي‏:‏ حديث حسن‏

Ketahuilah bahwa sesungguhnya disunnahkan ketika menjadi Imam supaya berdoa ; “Allahummah dinaa (berikanlah petunjuk kepada kami)” dengan keseluruhan lafadz dan demikian juga sebelumnya. Walaupun berdo’a “Allahumma dinii (berikanlah pentunjukan kepadaku)” tetap dinamakan qunut namun itu makruh, karena bagi seorang Imam memang dimakruhkan mengkhususkan do’a bagi dirinya sendiri. Dan kami meriwayatkan didalam kitab Sunan Imam Abi Daud dan Imam at-Turmidzi, dari Tsauban –radliyallahu ‘anh- berkata ; Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa salllam bersabda : “Seorang hamba dalam sebuah kaum tidak dipandang beriman, apabila mengkhususkan do’a untuk dirinya sendiri tanpa menyertakan yang lainnya (mereka), maka apabila melakukan yang demikian, sungguhnya telah mengkhianati mereka”. Imam at-Turmidzi berkata : hadits ini hasan.”

اختلف أصحابنا في رفع اليدين في دعاء القنوت ومسح الوجه بهما على ثلاثة أوجه‏:‏ أصحّها أنه يستحبّ رفعهما ولا يمسح الوجه‏.‏ والثاني‏:‏ يرفع ويمسحه‏.‏ والثالث‏:‏ لا يمسحُ ولا يرفع‏.‏ واتفقوا على أنه لا يمسح غير الوجه من الصدر ونحوه، بل قالوا‏:‏ ذلك مكروه‏.‏

Ashhab kami berselisih perihal mengangkat tangan ketika do’a qunut dan mengusap wajah dengan kedua tangan kepada 3 pendapat; pertama, yang ashah adalah disunnahkan mengangkat kedua tangan namun tidak mengusap wajah. kedua, disunnahkan mengangkat kedua tangan dan mengusap wajah, dan ketiga, tidak disunnahkan mengangkat tangan dan juga disunnahkan mengusap wajah. Ulama bersepakat atas tidak mengusapkannya kepada selian wajah, seperti dada atau selainnya, bahkan Ulama memakruhkannya.

وأما الجهر بالقنوت والإِسرار به فقال أصحابنا‏:‏ إن كان المصلي منفرداً أسرّ به، وإن كان إماماً جهر على المذهب الصحيح المختار الذي ذهب إليه الأكثرون‏.‏ والثاني أنه يسرّ كسائر الدعوات في الصلاة‏.‏ وأما المأموم فإن لم يجهر الإِمام قنت سرّاً كسائر الدعوات، فإنه يوافق فيها الإمام سرّاً‏.‏ وإن جهر الإِمام بالقنوت فإن كان المأموم يسمعه أمَّن على دعائه وشاركه في الثناء في آخره، وإن كان لا يسمعه قنت سرّاً، وقيل يؤمِّن، وقيل له أن يشاركه مع سماعه، والمختار الأوّل‏.‏

Perihal men-jahar-kan (mengeraskan) bacaan qunut dan men-sirr-kannya (tidak mengeraskan/pelan), ashhab kami berkata ; apabila mushalli sendirian maka di-sirr-kan, apabila menjadi imam shalat men-jahar-kannya menurut pendapat yang shahih yang telah di pilih yang juga banyak dipegang oleh banyak ulama. kedua, men-sirr-kan sebagaimana do’a-do’a didalam shalat. Adapun ketika imam tidak men-jahar-kan qunut, makmum membaca dengan men-sirr-kannya sebagaimana do’a didalam shalat, karena menyesuaikan dengan bacaan sirr imam. Ketika imam menjaharkan bacaan qunut dan makmum mendengarnya maka makmun mengucapkan amin atas do’anya Imam dan bersama-sama memuji Allah pada akhir qunut, namun apabila tidak mendengarkan bacaaan imam maka makmum men-sirr-kan bacaannya, dikatakan juga ; makmuk tetap mengucapkan amin. Dan juga dikatakan ; makmum bersama membaca qunut pada apa yang didengarnya. Pendapat yang dipilih adalah pendapat yang pertama.

وأما غير الصبح إذا قنت فيها حيث نقول به، فإن كانت جهريّة وهي المغرب والعشاء فهي كالصبح على ما تقدّم، وإن كانت ظهراً أو عصراً فقيل يُسرّ فيها بالقنوت، وقيل إنها كالصبح‏.‏ والحديث الصحيح في قنوت رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم على الذين قتلوا القرَّاء ببئر معونة يقتضي ظاهرُه الجهرَ بالقنوت في جميع الصلوات، ففي صحيح البخاري في باب تفسير قول اللّه تعالى‏:‏ ‏{‏لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ‏}‏ آل عمران‏: عن أبي هريرة‏:‏ أن النبيَّ صلى اللّه عليه وسلم جَهَرَ بالقنوت في قنوت النازلة ‏

Selain shalat shubuh apabila didalamnya terdapat qunut, maka apabila men-jahar-kannya adalah pada shalat maghrib dan isya’ sebagaimana shalat shubuh, namun apabila pada shalat dluhur atau ‘ashar, maka dikatakan : “men-sirr-kan qunutnya”, dan dikatakan : “di-jahar-kan seperti shalat shubuh”. Dan hadits yang shahih tentang qunut yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam untuk sahabat ahli Qura’ yang terbunuh di sumur Ma’unah, yang dhahirnya menunjukkan men-jahar-kan qunut pada seluruh shalat , dan didalam Shahih al-Bukhari pada bab tafsir tentang firman Allah {Laysa laka minal amri Syai’un}, dari Abu Hurairah : bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam men-jahar-kan bacaan qunut pada saat melakukan qunut nazilah”.

Dinukil dari Kitab al-Adzkar hal.57-59, karangan Imam al-Hafidz al-Hujjah al-Muhaddits al-Faqih Syaikhul Islam Muhyiddin Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawiy ad-Dimasyqiy asy-Syafi’i, Syaikhul Madzahib wa Kabirul Fuqaha’ fiy zamanihi, cet. toko Kitab al-Hidayah, Jl. Sasak No. 75 Surabaya – Indonesia.

Jumat, 16 Maret 2012

Suriah


Inilah Perjalanan Satu Tahun 'Hari Kemarahan'

Jumat, 16 Maret 2012 07:50 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Gejolak politik yang melanda bumi Suriah tak terasa sudah berlangsung selama satu tahun. Gejolak masih terus berlangsung dan bahkan semakin panas karena Presiden Bashar al-Assad tak sudi turun dari tampuh kekuasaannya.
Berikut garis tanggal peristiwa penting dalam pemberontakan Suriah yang dilansir dari Associated Press hingga Kamis (15/3):

- 15 Maret 2011 : Para aktivis menyerukan untuk melakukan "Day of Rage" atau hari kemarahan di Suriah. Mereka menuntut keruntuhan Presiden Bashar Asaad. Mereka terinspirasi dari pemberontakan-pemberontakan lain yang tengah bergejolak di seluruh negara Arab pada Februari. Akiatnya, beberapa pemuda ditangkap di bagian selatan kota Daraa.

- 18 Maret 2011 : Aktivis mengatakan lima orang tewas ketika pasukan keamanan negara membubarkan kerumunan di bagian selatan kota Daraa tersebut. Hari berikutya, kota Daraa ditutup dan tak ada yang diizinkan untuk masuk.

- 23 Maret 2011 : Protes berlanjut di Daraa. Media pemerintah Suriah mengudarakan gambar senjata, granat, peluru, tumpukan mata uang Suriah, yang disita dari sebuah masjid di kota.

- 25 Maret 2011 : Tentara menembaki pengunjuk rasa di beberapa kota dan bentrokan masa di jalan-jalan kota Damaskus.

- 26 April 2011 : Ribuan tentara dilengkapi tank dan penembak terang-terangan menembaki warga sipil di Daraa dan dua lokasi lainnya. Agen keamanan bersenjata men-sweeping rumah ke rumah. Layanan listrik, air dan telepon diputus. Sedikitnya 11 orang tewas dan 14 lainnya tergeletak di jalan entah mati atau terluka parah.

- 18 Mei 2011 : AS mengenakan sanksi terhadap Assad dan enam pejabat senior Suriah atas dasar pelanggaran HAM dan membekukan aset yurisdiksi. Pemerintah Swiss membatasi penjualan senjata ke Suriah dan membekukan aset serta melarang 13 pejabat senior Suriah melakukan perjalanan ke Swiss.

- 7 Juni 2011 : Muncul pemberontakan dari tentara Suriah di utara kota Jisr al-Shughour. Dari aksi tersebut, sebanyak 120 tentara tewas.

- 5 Agustus 2011 : Setelah beberapa hari serangan ganas di kota Hama, pusat protes anti-rezim, ratusan korban tewas akibat serangan Pasukan Keamanan Suriah yang dilengkapi tank dan para penembak jitu. Mayat tergeletak di jalan-jalan. Rumah sakit Hama kewalahan mengatasi korban. Presiden AS, Barack Obama, mengatakan peristiwa tersebut sangat mengerikan"Horrifying".

- 18 Agustus 2011 : Amerika Serikat, Inggris, Francis dan Jerman dan Uni Eropa meminta Assad mengundurkan diri karena tak pantas untuk memimpin.

- 4 Oktober 2011 : Rusia dan Cina memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengancam sanksi terhadap Suriah jika tidak segera menghentikan tindakan keras militer terhadap warga sipil.

- 6 Oktober 2011 : Assad menghadiri upacara untuk memperingati perang Arab-Israel 1973 yang ke-38. Pasukan Suriah menggempur desa di dekat perbatasan Turki. Mereka memburu para pembelot militer bersenjata.

- 24 Oktober 2011 : AS menarik duta besarnya dari Suriah dengan alasan keamanan.

- 8 November 2011 : Kantor hak asasi manusia PBB mengatakan jumlah korban tewas dalam pemberontakan tersebut telah mencapai 3.500 jiwa.

- 12 November 2011 : Liga Arab memberikan suara untuk menangguhkan keanggotaan Suriah serta menjadi teguran kepada rezim yang membanggakan diri sebagai benteng nasionalisme Arab.

- 27 November 2011 : Liga Arab menyetujui sanksi terhadap Suriah untuk menekan Damaskus dan mengakhiri kekerasan. Langkah tersebut sebelumnya tidak pernah dilakukan, karena berarti Liga melawan negara Arab.

- 12 Desember 2011 : Kepala HAM PBB, Navi Pillay mengatakan, lebih dari 5.000 tewas dalam konflik Suriah.

- 23 Desember 2011 : Dua bom mobil meledak di dekat kantor badan intelijen, Damaskus. Sejak pemberontakan dimulai, sebanyak 44 orang tewas dalam aksi bom bunuh diri.

- 28 Desember 2011 : Pasukan keamanan Suriah menyerang ribuan demonstran anti pemerintah di pusat kota Hama. Menewaskan sedikitnya enam orang. Peristiwa tersebut terjadi tepat satu hari menjelang kunjungan pengamat Liga Arab untuk mengakhiri kekerasan. Pemerintah juga melepaskan 755 tahanan menyusul laporan dari Human Rights Watch yang menuduh pemerintah menyembunyikan ratusan tahanan.

- 2 Januari 2012 : Sebuah ledakan pipa gas terjadi di pusat Suriah. Pemerintah menuduh pelakunya adalah "teroris." Sedangkan pihak oposisi menuduh pemerintah bermain di tengah kekhawatiran ekstremisme agama dan terorisme untuk menggalang dukungan untuk Assad.

- 6 Januari 2012 : Tepat dua minggu setelah bom di Damaskus, ledakan kembali terjadi di perempatan jalan ibukota yang ramai. Sedikitnya 25 orang tewas.

- 11 Januari 2012 : Gilles Jacquier, seorang juru kamera Prancis, tewas di Homs. Dia menjadi wartawan Barat pertama yang tewas dalam pemberontakan Suriah.

- 28 Januari 2012 : Liga Arab menghentikan pengamat misinya di Suriah karena kekerasan yang meningkat. Dalam tiga hari terakhir, sebanyak 100 orang tewas.

- 30 Januari 2012 : Sebuah pipa gas di dekat perbatasan Lebanon meledak. Aktivis melaporkan terjadi tembakan dan ledakan di pinggiran kota Damaskus. Sehari kemudian, pasukan menghancurkan lokasi perlawanan di pinggiran kota, dengan korban tewas sekitar 100 orang.

- 3 Feb 2012 : Aktivis mengatakan terjadi serangan pasukan pemerintah di Homs, membunuh lebih dari 200 orang dan ratusan luka.

- 4 Februari 2012 : Rusia dan Cina memveto resolusi di Dewan Keamanan PBB yang berisi dukungan terhadap rencana Liga Arab dan menyerukan Assad untuk mundur.

- 6 Februari 2012 : Pemerintahan Obama menutup Kedutaan Besar AS di Damaskus dan menarik semua diplomat Amerika keluar dari Suriah.

- 22 Februari 2012 : Wartawan foto Remi Ochlik asal Perancis dan wartawan Marie Colvin dari Sunday Times Inggris, terbunuh saat pemerintah malncarkan penembakan terhadap Baba Amr, sebuah kawasan di Homs yang dikuasai pemberontak. Dua wartawan lainnya terluka.

- 26 Februari 2012 : Suriah memegang referendum mengenai konstitusi baru. Ini menjadi isyarat Assad untuk menenangkan oposisi. Namun Barat menolak suara. Hari berikutnya, para aktivis mengatakan jumlah korban telah melampaui 8.000 orang setelah hampir satu tahun kerusuhan berlangsung. Sebagian besar korban ialah warga sipil.

- 1 Maret 2012 : Pasukan Suriah mengendalikan Baba Amr setelah serangan pemerintah yang berlangsung selama berminggu-minggu. Pemberontak mundur setelah kehabisan stok senjata dalam kondisi yang mengenaskan. Kelompok oposisi Suriah, National Suriah Council, membentuk dewan militer untuk mengatur dan menyatukan semua perlawanan bersenjata.

- 8 Maret 2012 : Deputi Kementerian Perminyakan Suriah mengumumkan pembelotan di video online. Hal tersebut membuatnya memiliki peringkat tertinggi dalam meninggalkan rezim Assad sejak pemberontakan dimulai.

- 13 Maret 2012 : Pasukan militer Suriah dilaporkan mengambil alih markas pemberontak di utara Idlib, sepanjang perbatasan Turki.

- 15 Maret 2012 : Memperingati tahun pertama dimulainya pemberontakan, ribuan pro-Assad berbaris di Damaskus. Tank dan penembak jitu terus mengepung Daraa. Para Sekjen PBB mengatakan lebih dari 8.000 telah tewas dalam tindakan keras.

Sabtu, 10 Maret 2012


SYEIKH NAWAWI AL BANTANI ( Digelar Imam Nawawi Kedua )


NAMA Imam Nawawi tidak asing lagi bagi dunia Islam terutama dalam lingkungan ulama-ulama Syafi'iyah. Ulama ini sangat terkenal kerana banyak karangannya yang dikaji pada setiap zaman dari dahulu sampai sekarang. Pada penghujung abad ke-18 lahir pula seorang yang bernama Nawawi di Banten, Jawa Barat. Setelah dia menuntut ilmu yang sangat banyak, mensyarah kitab-kitab bahasa Arab dalam pelbagai disiplin ilmu yang sangat banyak pula, maka dia digelar Imam Nawawi ats-Tsani, ertinya Imam Nawawi Yang Kedua. Orang pertama memberi gelaran demikian ialah Syeikh Wan Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani.

Gelaran yang diungkapkan oleh Syeikh Ahmad al-Fathani dalam seuntai gubahan syairnya itu akhirnya diikuti oleh semua orang yang menulis riwayat ulama yang berasal dari Banten itu. Sekian banyak ulama dunia Islam sejak sesudah Imam Nawawi yang pertama (wafat 676 Hijrah/1277 Masehi) sampai sekarang ini belum ada orang lain yang mendapat gelaran Imam Nawawi ats-Tsani, kecuali Syeikh Nawawi, ulama kelahiran Banten yang dibicarakan ini. Rasanya gelaran demikian memang dipandang layak, tidak ada ulama sezaman dengannya mahupun sesudahnya yang mempertikai autoritinya dalam bidang ilmiah keislaman menurut metode tradisional yang telah wujud zaman berzaman dan berkesinambungan.

Sungguhpun Syeikh Nawawi ats-Tsani al-Bantani diakui alim dalam semua bidang ilmu keislaman, namun dalam dunia at-thariqah ash-shufiyah, gurunya Syeikh Ahmad Khathib Sambas tidak melantik beliau sebagai seorang mursyid Thariqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah, tetapi yang dilantik ialah Syeikh Abdul Karim al-Bantani, iaitu ayah saudara kepada Syeikh Nawawi al-Bantani, yang sama-sama menerima thariqat itu kepada Syeikh Ahmad Khathib Sambas. Apakah sebabnya terjadi demikian hanya diketahui oleh Syeikh Ahmad Khathib Sambas dan Syeikh Nawawi al-Bantani. Syeikh Nawawi al-Bantani mematuhi peraturan yang diberikan itu, sehingga beliau tidak pernah mentawajuh/membai'ah seseorang muridnya walaupun memang ramai murid beliau yang menjadi ulama besar yang berminat dalam bidang keshufian.

LAHIR DAN PENDIDIKAN

Nama lengkapnya adalah Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar ibnu Arabi bin Ali al-Jawi al-Bantani. Beliau adalah anak sulung seorang ulama Banten, Jawa Barat, lahir pada tahun 1230 Hijrah/1814 Masehi di Banten dan wafat di Mekah tahun 1314 Hijrah/1897 Masehi. Ketika kecil, beliau sempat belajar kepada ayahnya sendiri, dan di Mekah belajar kepada beberapa ulama terkenal pada zaman itu, di antara mereka yang dapat dicatat adalah sebagai berikut: Syeikh Ahmad an-Nahrawi, Syeikh Ahmad ad-Dumyati, Syeikh Muhammad Khathib Duma al-Hanbali, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki, Syeikh Zainuddin Aceh, Syeikh Ahmad Khathib Sambas, Syeikh Syihabuddin, Syeikh Abdul Ghani Bima, Syeikh Abdul Hamid Daghastani, Syeikh Yusuf Sunbulawani, Syeikhah Fatimah binti Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Yusuf bin Arsyad al-Banjari, Syeikh Abdus Shamad bin Abdur Rahman al-Falimbani, Syeikh Mahmud Kinan al-Falimbani, Syeikh Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani. Demikian saja para gurunya yang dapat dicatat daripada berbagai-bagai sumber, dan berkemungkinan banyak yang belum dapat dicatat di sini.

Dipercayai beliau datang ke Mekah dalam usia 15 tahun dan selanjutnya setelah menerima pelbagai ilmu di Mekah, beliau meneruskan pelajarannya ke Syam (Syiria) dan Mesir. Setelah keluar dari Mekah kerana menuntut ilmu yang tidak diketahui berapa lamanya, lalu beliau kembali lagi ke Mekah. Keseluruhan masa beliau tinggal di Mekah dari mulai belajar, mengajar dan mengarang hingga sampai kemuncak kemasyhurannya lebih dari setengah abad lamanya. Diriwayatkan bahawa setiap kali beliau mengajar di Masjidil Haram sentiasa dikelilingi oleh pelajar yang tidak kurang daripada dua ratus orang. Kerana sangat terkenalnya beliau pernah diundang ke Universiti al-Azhar, Mesir untuk memberi ceramah atau fatwa-fatwa pada beberapa perkara yang tertentu.

Belum jelas tahun berapa beliau diundang oleh ahli akademik di Universiti al-Azhar itu, namun difahamkan bahawa beliau sempat bertemu dengan seorang ulama terkenal di al-Azhar (ketika itu sebagai Syeikhul Azhar), iaitu Syeikh Ibrahim al-Baijuri (wafat 1860 Masehi) yang sangat tua dan lumpuh kerana tuanya. Kemungkinan Syeikh Ibrahim al-Baijuri, Syeikhul Azhar yang terkenal itu termasuk salah seorang di antara guru kepada Syeikh Nawawi al-Bantani.

MURID MURID

Diriwayatkan bahawa Syeikh Nawawi al-Bantani mengajar di Masjidil Haram menggunakan bahasa Jawa dan Sunda ketika memberi keterangan terjemahan kitab-kitab bahasa Arab. Barangkali ulama Banten yang terkenal itu kurang menguasai bahasa Melayu yang lebih umum dan luas digunakan pada zaman itu. Oleh sebab kurang menguasai bahasa Melayu, maka tidak berapa ramai muridnya yang berasal dari luar pulau Jawa (seperti Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu dan Patani). Tetapi Tok Kelaba al-Fathani menyebut bahawa beliau menerima satu amalan wirid daripada Syeikh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani, dan Syeikh Abdul Qadir itu menerimanya daripada Syeikh Nawawi al-Bantani. Syeikh Abdul Qadir al-Fathani (Tok Bendang Daya II) sebenarnya bukan peringkat murid kepada Syeikh Nawawi al-Bantani tetapi adalah peringkat sahabatnya. Syeikh Nawawi al-Bantani (1230 Hijrah/1814 Masehi) lebih tua sekitar empat tahun saja daripada Syeikh Abdul Qadir al-Fathani (Tok Bendang Daya II, 1234 Hijrah/1817 Masehi). Adapun murid Syeikh Nawawi al-Bantani di pulau Jawa yang menjadi ulama yang terkenal sangat ramai, di antara mereka ialah, Kiyai Haji Hasyim Asy'ari, Pengasas Pondok Pesantren Tebuireng, Jawa Timur, bahkan beliau ini dianggap sebagai bapa ulama Jawa dan termasuk pengasas Nahdhatul Ulama. Murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang terkenal pula ialah Kiyai Haji Raden Asnawi di Kudus, Jawa Tengah, Kiyai Haji Tubagus Muhammad Asnawi di Caringin, Purwokerto, Jawa Barat, Syeikh Muhammad Zainuddin bin Badawi as-Sumbawi, Syeikh Abdus Satar bin Abdul Wahhab as-Shidqi al-Makki, Sayid Ali bin Ali al-Habsyi al-Madani dan ramai lagi.

Salah seorang cucunya, yang juga mendapat pendidikan sepenuhnya daripada beliau ialah Syeikh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Jawi al-Bantani (1285 Hijrah/1868 Masehi - 1324 Hijrah/1906 Masehi). Pada halaman pertama Al-Aqwalul Mulhaqat, Syeikh Abdul Haq al-Bantani menyebut bahawa Syeikh Nawawi al-Bantani adalah orang tuanya (Syeikhnya), orang yang memberi petunjuk dan pembimbingnya. Pada bahagian kulit kitab pula beliau menulis bahawa beliau adalah `sibthun' (cucu) an-Nawawi Tsani. Selain orang-orang yang tersebut di atas, sangat ramai murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang memimpin secara langsung barisan jihad di Cilegon melawan penjajahan Belanda pada tahun 1888 Masehi. Di antara mereka yang dianggap sebagai pemimpin pemberontak Celegon ialah: Haji Wasit, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail. Semua mereka adalah murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang dikaderkan di Mekah.

KARYA KARYA

Berapa banyakkah karya Syeikh Nawawi ats-Tsani al-Bantani yang sebenarnya belum diketahui dengan pasti. Barangkali masih banyak yang belum masuk dalam senarai yang ditulis oleh penulis-penulis sebelum ini. Saya telah memiliki karya ulama Banten ini sebanyak 30 judul. Judul yang telah saya masukkan dalam buku berjudul Katalog Besar Persuratan Melayu, sebanyak 44 judul. Semua karya Syeikh Nawawi al-Bantani ditulis dalam bahasa Arab dan merupakan syarahan daripada karya orang lain. Belum ditemui walau sebuah pun karyanya yang diciptakan sendiri. Juga belum ditemui karyanya dalam bahasa Melayu, Jawa ataupun Sunda. Oleh sebab kekurangan ruangan di antara 44 judul di bawah ini saya catat sekadarnya saja, ialah:

1. Targhibul Musytaqin, selesai Jumaat, 13 Jamadilakhir 1284 Hijrah/1867 Masehi. Cetakan awal Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1311 Hijrah.

2. Fat-hus Shamadil `Alim, selesai awal Jamadilawal 1286 Hijrah/1869 Masehi. Dicetak oleh Mathba'ah Daril Kutubil Arabiyah al-Kubra, Mesir 1328 Hijrah.

3. Syarah Miraqil `Ubudiyah, selesai 13 Zulkaedah 1289 Hijrah/1872 Masehi. Cetakan pertama Mathba'ah al-Azhariyah al-Mashriyah, Mesir 1308 Hijrah.

4. Madarijus Su'ud ila Iktisa'il Burud, mulai menulis 18 Rabiulawal 1293 Hijrah/1876 Masehi. Dicetak oleh Mathba'ah Mustafa al-Baby al-Halaby, Mesir, akhir Zulkaedah 1327 Hijrah.

5. Hidayatul Azkiya' ila Thariqil Auliya', mulai menulis 22 Rabiulakhir 1293 Hijrah/1876 Masehi, selesai 13 Jamadilakhir 1293 Hijrah/1876 Masehi. Diterbitkan oleh Mathba'ah Ahmad bin Sa'ad bin Nabhan, Surabaya, tanpa menyebut tahun penerbitan.

6. Fat-hul Majid fi Syarhi Durril Farid, selesai 7 Ramadan 1294 Hijrah/1877 Masehi. Cetakan pertama oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1304 Hijrah.

7. Bughyatul `Awam fi Syarhi Maulidi Saiyidil Anam, selesai 17 Safar 1294 Hijrah/1877 Masehi. Dicetak oleh Mathba'ah al-Jadidah al-'Amirah, Mesir, 1297 Hijrah.

8. Syarah Tijanud Darari, selesai 7 Rabiulawal 1297 Hijrah/1879 Masehi. Cetakan pertama oleh Mathba'ah `Abdul Hamid Ahmad Hanafi, Mesir, 1369 Masehi.

9. Syarah Mishbahu Zhulmi `alan Nahjil Atammi, selesai Jamadilawal 1305 Hijrah/1887 Masehi. Cetakan pertama oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1314 Hijrah atas biaya saudara kandung pengarang, iaitu Syeikh Abdullah al-Bantani.

10. Nasha-ihul `Ibad, selesai 21 Safar 1311 Hijrah/1893 Masehi. Cetakan kedua oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1323 Hijrah.

11. Al-Futuhatul Madaniyah fisy Syu'bil Imaniyah, tanpa tarikh. Dicetak di bahagian tepi kitab nombor 10, oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1323 Hijrah.

12. Hilyatus Shibyan Syarhu Fat-hir Rahman fi Tajwidil Quran, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba'ah al-Miriyah, Mekah, 1332 Hijrah.

13. Qatrul Ghaits fi Syarhi Masaili Abil Laits, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba'ah al-Miriyah, Mekah, 1321 Hijrah.

14. Mirqatu Su'udi Tashdiq Syarhu Sulamit Taufiq, tanpa tarikh. Cetakan pertama oleh Mathba'ah al-Miriyah, Mekah 1304 Hijrah.

15. Ats-Tsimarul Yani'ah fir Riyadhil Badi'ah, tanpa tarikh. Cetakan pertama oleh Mathba'ah al-Bahiyah, Mesir, Syaaban 1299 Hijrah. Dicetak juga oleh Mathba'ah Mustafa al-Baby al-Halaby, Mesir, 1342 Hijrah.

16. Tanqihul Qaulil Hatsits fi Syarhi Lubabil Hadits, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba'ah Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, Mesir, tanpa tarikh.

17.Bahjatul Wasail bi Syarhi Masail, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba'ah al-Haramain, Singapura-Jeddah, tanpa tarikh.

18. Fat-hul Mujib Syarhu Manasik al- 'Allamah al-Khatib, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba'ah at-Taraqqil Majidiyah, Mekah, 1328 Hijrah.

19. Nihayatuz Zain Irsyadil Mubtadi-in, tanpa tarikh. Diterbitkan oleh Syarikat al-Ma'arif, Bandung, Indonesia, tanpa tarikh.

20. Al-Fushushul Yaqutiyah `alar Raudhatil Bahiyah fi Abwabit Tashrifiyah, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba'ah al-Bahiyah, Mesir, awal Syaaban 1299 Hijrah.


Penyumbang Ilmu Fiqh

Syekh Nawawi termasuk ulama tradisional besar yang telah memberikan sumbangan sangat penting bagi perkembangan ilmu fiqh di Indonesia. Mereka memperkenalkan dan menjelaskan, melalui syarah yang mereka tulis, berbagai karya fiqh penting dan mereka mendidik generasi ulama yang menguasai dan memberikan perhatian kepada fiqh.

Ia menulis kitab fiqh yang digunakan secara luas, Nihayat al-Zain. Kitab ini merupakan syarah kitab Qurrat al-‘Ain, yang ditulis oleh ulama India Selatan abad ke-16, Zain ad-Din al-Malibari (w. 975 M). ulama India ini adalah murid Ibnu Hajar al-haitami (wafat 973 M), penulis Tuhfah al-Muhtaj, tetapi Qurrat dan syarah yag belakangan ditulis al-Malibari sendiri tidak didasarkan pada Tuhfah.

Qurrat al-‘Ain belakangan dikomentari dan ditulis kembali oleh pengarangnya sendiri menjadi Fath al-Muin. Dua orang yang sezaman dengan Syekh Nawawi Banten di Makkah tapi lebih muda usianya menulis hasyiyah (catatan) atas Fath al-Mu’in. Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha al-Dimyathi menulis empat jilid I’aanah at-Thalibbin yang berisikan catatan pengarang dan sejumlah fatwa mufti Syafi’i di Makkah saat itu, Ahmad bin Zaini Dahlan. Inilah kitab yang popular sebagai rujukan utama.

Syekh Nawawi Banten juga menulis dalam bahasa Arab Kasyifah as-Saja’, syarah atas dua karya lain yang juga penting dalam ilmu fiqh. Yang satu teks pengantar Sullamu at-Taufiq yang ditulis oleh ‘Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’lawi (wafat 1272 H/ 1855 M). yang lain ialah Safinah an-Najah ditulis oleh Salim bin Abdullah bin Samir, ulama Hadrami yang tinggal di Batavia (kini: Jakarta) pada pertengahan abad ke-19.

Kitab daras (text book) ar-Riyadh al Badi’ah fi Ushul ad-Din wa Ba’dh Furu’ asy-Syari’ah yang membahas butir pilihan ajaran dan kewajiban agama diperkenalkan oleh Kyai Nawawi Banten pada kaum muslimin Indonesia. Tak banyak diketahui tentang pengarangnya, Muhammad Hasbullah. Barangkali ia sezaman dengan atau sedikit lebih tua dari Syekh Nawawi banten. Ia terutama dikenal karena syarah Nawawi, Tsamar al-Yani’ah. Karyanya hanya dicetak di pinggirnya.

Sullam al-Munajat merupakan syarah Nawawi atas pedoman ibadah Safinah ash-Shalah karangan Abdullah bin ‘Umar al-Hadrami, sedangkan Tausyih Ibn Qasim merupakan komentarnya atas Fath al-Qarib. Walau bagaimanapun, masih banyak yang belum kita ketahui tentang Syekh Nawawi Banten. (ditulis oleh Martin Muntadhim S.M.)

Nasionalisme

Tiga tahun bermukim di Mekah, beliau pulang ke Banten. Sampai di tanah air beliau menyaksikan praktek-praktek ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan penindasan dari Pemerintah Hindia Belanda. Ia melihat itu semua lantaran kebodohan yang masih menyelimuti umat. Tak ayal, gelora jihadpun berkobar. Beliau keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Tentu saja Pemerintah Belanda membatasi gara-geriknya. Beliau dilarang berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan belakangan beliau dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu memang sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825- 1830 M).

Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, apa boleh buat Syaikh Nawawi terpaksa menyingkir ke Negeri Mekah, tepat ketika perlawanan Pangeran Diponegoro padam pada tahun 1830 M. Ulama Besar ini di masa mudanya juga menularkan semangat Nasionalisme dan Patriotisme di kalangan Rakyat Indonesia. Begitulah pengakuan Snouck Hourgronje. Begitu sampai di Mekah beliau segera kembali memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya. Beliau tekun belajar selama 30 tahun, sejak tahun 1830 hingga 1860 M. Ketika itu memang beliau berketepatan hati untuk mukim di tanah suci, satu dan lain hal untuk menghindari tekanan kaum penjajah Belanda. Nama beliau mulai masyhur ketika menetap di Syi'ib ‘Ali, Mekah. Beliau mengajar di halaman rumahnya. Mula-mula muridnya cuma puluhan, tapi makin lama makin jumlahnya kian banyak. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia. Maka jadilah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi sebagai ulama yang dikenal piawai dalam ilmu agama, terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf.

Nama beliau semakin melejit ketika beliau ditunjuk sebagai pengganti Imam Masjidil Haram, Syaikh Khâtib al-Minagkabawi. Sejak itulah beliau dikenal dengan nama resmi ‘Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi.’ Artinya Nawawi dari Banten, Jawa. Piawai dalam ilmu agama, masyhur sebagai ulama. Tidak hanya di kota Mekah dan Medinah saja beliau dikenal, bahkan di negeri Mesir nama beliau masyhur di sana. Itulah sebabnya ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Mesir negara yang pertama-tama mendukung atas kemerdekaan Indonesia.

Syaikh Nawawi masih tetap mengobarkan nasionalisme dan patriotisme di kalangan para muridnya yang biasa berkumpul di perkampungan Jawa di Mekah. Di sanalah beliau menyampaikan perlawanannya lewat pemikiran-pemikirannya. Kegiatan ini tentu saja membuat pemerintah Hindia Belanda berang. Tak ayal, Belandapun mengutus Snouck Hourgronje ke Mekah untuk menemui beliau.

Ketika Snouck–yang kala itu menyamar sebagai orang Arab dengan nama ‘Abdul Ghafûr-bertanya:

“Mengapa beliau tidak mengajar di Masjidil Haram tapi di perkampungan Jawa?”.

Dengan lembut Syaikh Nawawi menjawab:

“Pakaianku yang jelek dan kepribadianku tidak cocok dan tidak pantas dengan keilmuan seorang professor berbangsa Arab”.

Lalu kata Snouck lagi:

”Bukankah banyak orang yang tidak sepakar seperti anda akan tetapi juga mengajar di sana?”.

Syaikh Nawawi menjawab :

“Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup berjasa".

Dari beberapa pertemuan dengan Syaikh Nawawi, Orientalis Belanda itu mengambil beberapa kesimpulan. Menurutnya, Syaikh Nawawi adalah Ulama yang ilmunya dalam, rendah hati, tidak congkak, bersedia berkorban demi kepentingan agama dan bangsa. Banyak murid-muridnya yang di belakang hari menjadi ulama, misalnya K.H. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdhatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), K.H. Khalil Bangkalan, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tb. Bakrie Purwakarta, K.H. Arsyad Thawil, dan lain-lainnya.

Konon, K.H. Hasyim Asy’ari saat mengajar santri-santrinya di Pesantren Tebu Ireng sering menangis jika membaca kitab fiqih Fath al-Qarîb yang dikarang oleh Syaikh Nawawi. Kenangan terhadap gurunya itu amat mendalam di hati K.H. Hasyim Asy’ari hingga haru tak kuasa ditahannya setiap kali baris Fath al-Qarib ia ajarkan pada santri-santrinya.

Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis asal Tanara, Banten dan dikaruniai 3 anak: Nafisah, Maryam, Rubi’ah. Sang istri wafat mendahului beliau.

Gelar-Gelar

Berkat kepakarannya, beliau mendapat bermacam-macam gelar. Di antaranya yang diberikan oleh Snouck Hourgronje, yang menggelarinya sebagai Doktor Ketuhanan. Kalangan Intelektual masa itu juga menggelarinya sebagai al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam). Syaikh Nawawi bahkan juga mendapat gelar yang luar biasa sebagaia al-Sayyid al-‘Ulama al-Hijâz (Tokoh Ulama Hijaz). Yang dimaksud dengan Hijaz ialah Jazirah Arab yang sekarang ini disebut Saudi Arabia. Sementara para Ulama Indonesia menggelarinya sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia.

Karamah

Konon, pada suatu waktu pernah beliau mengarang kitab dengan menggunakan telunjuk beliau sebagai lampu, saat itu dalam sebuah perjalanan. Karena tidak ada cahaya dalam syuqduf yakni rumah-rumahan di punggung unta, yang beliau diami, sementara aspirasi tengah kencang mengisi kepalanya. Syaikh Nawawi kemudian berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu menerangi jari kanannya yang untuk menulis. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Marâqi al-‘Ubudiyyah syarah Matan Bidâyah al-Hidayah itu harus dibayar beliau dengan cacat pada jari telunjuk kirinya. Cahaya yang diberikan Allah pada jari telunjuk kiri beliau itu membawa bekas yang tidak hilang. Karamah beliau yang lain juga diperlihatkannya di saat mengunjungi salah satu masjid di Jakarta yakni Masjid Pekojan. Masjid yang dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah saw Habib Utsmân bin ‘Agîl bin Yahya al-‘Alawi, Ulama dan Mufti Betawi (sekarang ibukota Jakarta), itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsmân sendiri.

Tak ayal , saat seorang anak remaja yang tak dikenalnya menyalahkan penentuan kiblat, kagetlah Sayyid Utsmân. Diskusipun terjadi dengan seru antara mereka berdua. Sayyid Utsmân tetap berpendirian kiblat Mesjid Pekojan sudah benar. Sementara Syaikh Nawawi remaja berpendapat arah kiblat mesti dibetulkan. Saat kesepakatan tak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras, Syaikh Nawawi remaja menarik lengan baju lengan Sayyid Utsmân. Dirapatkan tubuhnya agar bisa saling mendekat.

“Lihatlah Sayyid!, itulah Ka?bah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah Ka?bah itu terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini agak kekiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke Ka?bah". Ujar Syaikh Nawawi remaja.

Sayyid Utsmân termangu. Ka?bah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syaikh Nawawi remaja memang terlihat jelas. Sayyid Utsmân merasa takjub dan menyadari , remaja yang bertubuh kecil di hadapannya ini telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Dengan karamah itu, di manapun beliau berada Ka?bah tetap terlihat. Dengan penuh hormat, Sayyid Utsmân langsung memeluk tubuh kecil beliau. Sampai saat ini, jika kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak sesuai aslinya.

Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota. Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan ini dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut. Inilah yang juga menimpa makam Syaikh Nawawi. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih kafan penutup jasad beliau tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.

Terang saja kejadian ini mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil. Pemerintah melarang membongkar makam tersebut. Jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada di Ma?la, Mekah.

Demikianlah karamah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Tanah organisme yang hidup di dalamnya sedikitpun tidak merusak jasad beliau. Kasih sayang Allah Ta’ala berlimpah pada beliau. Karamah Syaikh Nawawi yang paling tinggi akan kita rasakan saat kita membuka lembar demi lembar Tafsîr Munîr yang beliau karang. Kitab Tafsir fenomenal ini menerangi jalan siapa saja yang ingin memahami Firman Allah swt. Begitu juga dari kalimat-kalimat lugas kitab fiqih, Kâsyifah al-Sajâ, yang menerangkan syariat. Begitu pula ratusan hikmah di dalam kitab Nashâih al-‘Ibâd. Serta ratusan kitab lainnya yang akan terus menyirami umat dengan cahaya abadi dari buah tangan beliau.

Wafat

Masa selama 69 tahun mengabdikan dirinya sebagai guru Umat Islam telah memberikan pandangan-pandangan cemerlang atas berbagai masalah umat Islam. Syaikh Nawawi wafat di Mekah pada tanggal 25 syawal 1314 H/ 1897 M. Tapi ada pula yang mencatat tahun wafatnya pada tahun 1316 H/ 1899 M. Makamnya terletak di pekuburan Ma'la di Mekah. Makam beliau bersebelahan dengan makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar al-Siddiq, Asma? binti Abû Bakar al-Siddîq.

http://bagussigitsetiawan.blogspot.com/2011/06/syeikh-nawawi-al-bantani-digelar-imam.html
K.H. Hasyim Asy’ari

Syech Tubagus Ahmad Bakri, Purwakarta



Biografi:


Mama Sempur atau Ajengan Plered (Tubagus Ahmad Bakri) adalah ulama besar dan disegani pada zamannya. Syeikh Tubagus Ahmad Bakri adalah seorang ulama yang sangat berpengaruh di daerah Purwakarta. Bahkan hampir bisa dipastikan bahwa karena jasa beliaulah sejumlah pesantren berdiri di daerah tersebut. 


Tidak hanya itu, di kalangan masyarakat Jawa Barat nama Ahmad Bakri sangat terkenal sebagai guru tarekat tertinggi dalam ajaran tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah.

Mama sempur mempunyai nama lengkap KH. Tubagus Ahmad Bakry. Beliau dilahirkan di desa Citeko kec Plered. Namun tidak diketahui secara pasti kapan beliau dilahirkan. Ayahnya, bernama Tubagus Sayidah. Di samping sebagai ulama, ayahnya juga dikenal sebagai pejuang yang gigih melawan pemerintah kolonial. 


Layaknya keturunan kiai, pendidikan awal Ahmad Bakri diperolehnya dari ayahnya. Melalui ayahnya, ia mengenal cara membaca al-Qur’an dan ilmu dasar keislaman. 

Setelah merasa cukup mendidiknya, ayahnya kemudian mengirim Ahmad Bakri ke Makkah. Pada waktu itu, tradisi belajar ke Timur Tengah sangat lazim di kalangan kiai tradisional. Di Mekah ia belajar tafsir kepada Sayyid Ahmad Dahlan, salah seorang ulama besar yang mengajarkan Islam Madzhab Syafi’i. Di sana, ia juga belajar pada ulama Nusantara yang menetap di Mekah, yaitu Syekh Nawawi Banten dan Syekh Mahfudz Termas. 
Khususnya kepada Syekh Nawawi Banten, beliau belajar fikih. 

Setelah merasa cukup, beliau kembali ke desa sempur untuk mengamalkan ilmu pengetahuannya kepada masyarakat dan mulai hidup menetap di sempur. Ditanah kelahirannya itu beliau mendirikan sebuah pesantren di Darangdang, Desa Sempur, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta. Pesantren ini dinilai sebagai pesantren tertua di daerah tersebut. Demikianlah untuk selanjutnya ia mengelola pondok pesantren dan menjadi guru penyebar Tarekat Naqsabandiyah di daerah tersebut.

Beliau meninggal pada malam Senin, 1 Desember 1975 M bertepatan dengan tanggal 27 Dzul-Qa’dah 1395 H. Menurut beberapa keterangan, beliau meninggal pada usia 128 tahun, dimakamkan di Desa Sempur Kecamatan Plered, sekitar 16 Km dari pusat kota.

Pemikiran-pemikirannya.

Untuk mengungkap pemikirannya kita dapat melacak sejumlah catatan kecil yang ditulisnya, ceramah-ceramah serta kandungan kitab yang ditulisnya. 



Dalam Cempaka Dilaga, KH Ahmad Bakri menjelaskan beberapa prinsip hidup yang harus dilakoni oleh umat Islam, yaitu keharusan berbuat baik terhadap tetangga agar kita dapat hidup di dunia dengan aman, terutama aman dalam ibadah dan mengabdi kepada Allah. 

Di bagian lain kitab ini, ia berpendapat bahwa seorang muslim hendaknya patuh dan menaati pemerintah, selama pemerintah tidak memerintahkan rakyatnya untuk menyalahi perintah Allah atau melarang untuk berbakti kepada Allah SWT.

Ajengan Tubagus Ahmad Bakri termasuk ulama yang tidak sepakat dengan ajaran Wahabi yang berkembang di Mekah. Bahkan ia menilai bahwa Muhammad Abdul Wahab, pendiri Wahabi, adalah musuh Rasulullah Saw. Ketidaksepakatan terhadap ajaran tersebut dituangkannya dalam sebuah bukunya yang berjudul Idhah al-Kardtiniyah fi Ma Yata’allaqu bi Dhalat al-Wahabiyah.

Selain itu, Ahmad Bakri juga menyinggung persoalan pendidikan. Sebagaimana di ketahui, ia hidup pada masa peperangan dan pada saat itu banyak orang yang ikut berperang melawan penjajah. Disinilah ia menangkap realitas di mana pendidikan begitu terabaikan. 

Menyikapi kenyataan ini, ia menyatakan perlunya sebagian orang untuk tetap memperhatikan pendidikan dan tidak ikut berperang. Untuk mengukuhkan pendapatnya, ia mengutip ayat al-Qur’an, khususnya surat At-Taubah ayat 22. "Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar".

Meskipun Ahmad Bakri tidak terlibat langsung dalam kancah politik, namun pandangan-pandangan dan pilihan politiknya diikuti oleh masyarakat setempat. Ia bukanlah tipe propagandis yang kerap memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Alih-alih memaksakan keinginannya, malah ia memberikan kebebasan kepada para santrinya untuk menentukan sikap politiknya.

Kyai Kholil Bangkalan,Madura

Senin, 05 Maret 2012

Arab saudi


Maret 2012 
Sumber-sumber diplomatik negara-negara Arab Teluk Persia mengkonfirmasikan rencana Arab Saudi meningkatkan pembelian berbagai jenis senjata modern dari Amerika Serikat,  mencapai 60 milyar dolar dan angka itu ditambah hingga 90 milyar dolar, dalam rangka memperkokoh armada lautnya. Riyadh mengklaim bahwa peningkatan kemampuan Angkatan Lautnya itu dalam rangka menghadapi ancaman regional. Para pejabat Amerika Serikat membenarkan berita soal penandatanganan kontrak pembelian pesawat produksi Amerika oleh Arab Saudi senilai 60 milyar dolar.







http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/03/05/m0f6pj-saudi-belanja-militer-ke-as-hingga-90-miliar-dollar

IRAN

Nopember 2011

Badan Energi Atom PBB mengeluarkan laporan bahwa Iran memiliki teknologi untuk membuat senjata nuklir. Teheran mengembangkan teknologi membuat hulu ledak nuklir, yang dicangkokkan ke dalam misil nuklir. Iran mendapat bantuan teknis dari para ahli nuklir Rusia, Pakistan, dan Korea Utara. Hal ini menimbulkan kemungkinan adanya dimensi militer dalam misi program nuklir Iran.

Teheran berulang-ulang membantah tuduhan itu dengan menyatakan pihaknya sedang membangun program energi nuklir. Israel sendiri diketahui luas memiliki beberapa ratus peluru kendali nuklir tetapi negara itu tak pernah membenarkan atau membantahnya.

Media di Israel berspekulasi bahwa ada rencana untuk menyerang fasilitas nuklir Iran tetapi Menteri Pertahanan Israel, Ehud Barak dan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sudah memutuskan akan melancarkan serangan terhadap Iran walaupun ada penentangan dari kepala militer dan intelejen. Amerika Srikat, Inggris dn Prancis semakin meningkatkan tekanan pada Iran menjelang dikeluarkan satu laporan PBB pekan depan yang mungkin memberikan rincian baru tentang sisi militer program nuklir Iran.

Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran, Jenderal Hassan Firouzabadi telah mempertimbangkan kemungkinan ada serangan apa pun (bahkan dengan tingkat probabilitas rendah dan tidak ramah) sebagai ancaman nyata. "Kami dalam keadaan siaga penuh". Peringatan Iran ini muncul di tengah-tengah spekulasi media Israel tentang rencana suatu serangan yang mengancam Iran.

China mendesak Iran, untuk bersikap luwes menyangkut program nuklirnya yang kontroversial. Cina juga memperingatkan Iran bahwa penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan masalah itu adalah pilihan terakhir yang dibutuhkan Timur Tengah saat ini.

Januari 2012

Iran mengancam Amerika akan menutup teluk Hormuz dan ancaman ini ternyata sukses membuat AS dan Inggris cemas. Untuk mengantisipasi gerakan Iran, Amerika pun memulai pengintaiannya dengan pesawat, USS John C Stennis yang berbasis di Bahrain.


Minggu, 04 Maret 2012

Apakah Jama'ah Tabligh ?
Adakah dalil/ tuntunan Nabi untuk I’tikaf di masjid 2,5 jam setiap hari, 3 hari setiap bulan, 40 hari setiap tahun dan 4 bulan seumur hidup? 
Adakah dalil/ tuntunan Nabi untuk mendatangi rumah-rumah untuk diajak ke masjid.   

Jawaban
Profil Singkat mengenai Jama’ah Tabligh

Jama’ah Tabligh didirikan pada akhir dekade 1920-an oleh seorang ulama yang bernama Muhammad Ilyas Kandhalawi di Mewat, India. 
Nama Jama'ah Tabligh sendiri bukanlah nama resmi gerakan ini, tetapi adalah semacam ‘gelar’ yang diberikan masyarakat umum. Bahkan, Muhammad Ilyas sendiri mengatakan : “Seandainya aku harus memberikan nama pada usaha ini maka akan aku beri nama "gerakan iman"

Ilham untuk mengabdikan hidupnya total hanya untuk Islam terjadi ketika Maulana Ilyas melangsungkan Ibadah Haji kedua-nya di Hijaz pada tahun1926.Jamaah ini mengklaim tidak menerima donasi dana dari manapun untuk menjalankan aktivitasnya. Biaya operasional Tabligh dibiayai sendiri oleh pengikutnya.

Markas internasional pusat Tabligh adalah di Nizzamudin, India. Kemudian setiap negara juga mempunyai markas pusat nasional, dari markas pusat dibagi markas-markas regional/daerah yang dipimpin oleh seorang Shura. Kemudian dibagi lagi menjadi ratusan markas kecil yang disebut Halaqah. Kegiatan di Halaqah adalah musyawarah mingguan, dan sebulan sekali mereka khuruj selama tiga hari. Khuruj adalah meluangkan waktu untuk secara total berdakwah, yang biasanya dari masjid ke masjid dan dipimpin oleh seorang Amir. Orang yang khuruj tidak boleh meninggalkan masjid tanpa seizin Amir khuruj. Tetapi para karyawan diperbolehkan tetap bekerja, dan langsung mengikuti kegiatan sepulang kerja.

Sewaktu khuruj, kegiatan diisi dengan ta'lim (membaca hadits atau kisah sahabat, biasanya dari kitab Fadhail Amal karya Maulana Zakaria), jaulah (mengunjungi rumah-rumah di sekitar masjid tempat khuruj dengan tujuan mengajak kembali pada Islam yang kaffah), bayan, mudzakarah (menghafal) 6 sifat sahabat, karkuzari (memberi laporan harian pada amir), dan musyawarah. Selama masa khuruj, mereka tidur di masjid. [1]

Sebagian kalangan memang mempermasalahkan bahkan menuduh khurujnya ala Jama’ah Tabligh selama 3 hari, 40 hari atau 4 bulan adalah bid’ah, sebab Nabi y dan para shahabatnya tidak pernah melakukannya, dan demikian juga para salafuna shalih, dan yang pasti amalan ini tidak tercantum dalam kitab-kitab sunnah.

Tetapi benarkah kemudian khuruj ini bisa dihukumi sebagai bid’ah yang sesat, sehingga sama saja bisa dikatakan Jama’ah Tabligh adalah aliran sesat? 

Mari kita simak penjelasannya.
Keluar berdakwah (khuruj) 3 hari, 40 hari, dan 4 bulan itu bid’ah ?
Syaikh Aiman Abu Syadzi berkata, “Bid’ah secara khusus bermakna telah keluar dari aturan yang telah dibuat oleh Dzat pembuat syariat, yaitu Allah Swt. Dengan ketentuan seperti ini , maka segala sesuatu yang jelas dan dilakukan untuk berhubungan dengan agama atau tidak keluar dari aturan syariat, tidak termasuk bid’ah.[2]
Khuruj bukanlah sebuah bentuk ibadah(madzah) yang di ada-adakan semacam shalat, haji, dll. Jika ada pemahaman semacam ini, maka ini adalah kesalahpahaman yang harus diluruskan, karena khuruj adalah sebuah usaha menyampaikan dakwah yang diatur dan ditata sedemikian rupa.

Lalu apakah dakwah ilallah yang bertujuan untuk membawa manusia kepada hidayah itu keluar dari syariat Allah dan Rasul-Nya ?
Padahal Allah dengan tegas telah memerintahkan Nabi Saw dan kaum muslimin untuk berdakwah:

“Serulah (mereka) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan ajakan hasanah.” 
(An-Nahl:125)
Dan Firman-Nya pula :

“Dan hendaklah dari kalian ada segolongan umat yang mengajak kebaikan dan memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali-Imran: 104)

Dan Nabi Saw  pun telah memerintahkan berdakwah kepada seluruh umatnya dengan sabdanya, “Sampaikanlah kalian dariku walaupun satu ayat.” 

Dan sabda beliau, :“Hendaklah yang hadir dari kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir.”

Jika demikian, lalu mengapa saudara kita yang berkecimbung dalam dakwah ini dicela ? Apalagi memvonis mereka sebagai ahlu bid’ah ?

Diantara mereka ada yang berkata, bahwa masalahnya adalah; mengapa harus 3 hari, 40 hari, atau 4 bulan? 
Pembatasan waktu inilah yang menjadikan khuruj disebut bid’ah.
Maka disini kami akan melakukan pelurusan mengenai masalah ini, sehingga mereka yang hatinya mau menerima kebenaran bisa memahaminya.

Pembatasan dan Pengkhususan Bilangan

Terdapat banyak hadits-hadits shahih dan juga penjelasan ulama' salaf dan khalaf yang mengesahkan pembatasan dan pengkhususan waktu-waktu tertentu untuk melaksanakan kewajiban syar’i. Syaikh Aiman Abu Syadi berkata : "Mari kita memperhatikannya menurut ilmu Ushul Fiqih; Kami tidak menerima seandainya bilangan-bilangan ini disebut bermakna pembatasan, sebab masalah itu masuk dalam kaidah MAFHUM ‘ADAD (pengertian bilangan)

Dan menurut jumhur ahli ushul fiqih, pengertian bilangan bukanlah hujjah secara substansi. Dan tidak ada konotasi pemahaman untuk bilangan, serta tidak bermakna peringkasan atas jumlah tersebut.[3]
Definisi Mafhum ‘adad adalah ; Penunjukan lafadz yang diqaidi (disyariatkan) dengan suatu bilangan untuk menafikan suatu hukum yang lebih atau kurang, atau untuk menetapkan suatu pertentangan hukum yang diqayyid (disyariatkan) dengan suatu bilangan ketika tidak adanya realisasi bilangan ini dengan dikurangkan atau ditambahkan.
Apabila suatu hukum dikhususkan dengan bilangan tertentu dan dibatasi dengannya, seperti firman Allah ta’ala : “…..Maka deralah mereka (yang menuduh itu) 80 kali dera.”(an-Nur:4).
Maka bilangan 80 ini tidak berarti menafikan hukum selain bilangan 80 tersebut, baik hukum yang lain itu bertambah atau berkurang dari hukum yang telah dibatasi oleh bilangan tadi.
Definisi ini dibuat oleh Imam Al-Baidawi, Imam Al-Haramain, Abu Bakr Al-Bakilani, Imam Al-Amandi, dan mayoritas madzab Imam Hanafi. Mereka berargumentasi bahwa setiap bilangan, meskipun hakikatnya berbeda, namun tidak mengharuskan perbedaan dalam hukum-hukum penggabungan (isytirak). Bilangan-bilangan yang berbeda dalam satu hukum itu tidak terlarang. Selama permasalahannya adalah demikian, maka pengkhususan hukum dengan bilangan, tidak mewajibkan hukum tersebut dinafikkan dari bilangan lainnya, sehingga lafadz tersebut menunjukkan kepada yang lainnya.
Mari kita sesuaikan pendapat para ulama tersebut dengan hadits Nabi y sebagai conto, karena keterbatasan halaman, kita memakai satu contoh saja :
Imam An-Nawawi di dalam Riyadhush Shalihin menyampaikan wasiat yang disampaikan oleh para imam terhadap para pencari ilmu. Wasiat tersebut diawali oleh imam Adz-Dzahabi dalam bab At-Taubah. Dari Abu hurairah a, aku mendengar Rasulullah ybersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku memohon ampun (beristighfar) kepada Allah dan bertaubat kepadaNya dalam sehari lebih daripada tujuh puluh kali.”[4]
Imam Adz-Dzahabi pun menyampaikan dari Argharbin Yasar Al-Muzani, Rasulullah ybersabda, “Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah dan beristighfarlah kalian kepadaNya, karena Aku berstighfar dalam sehari 100 kali” (HR. Ahmad).
Di dalam hadits pertama disebutkan bahwa Nabi y beristighfar 70 kali dan didalam hadits yang lain disebutkan 100 kali. Manakah dari kedua hadits ini yang dimaksud oleh Nabi y ? Apakah kedua perintah hadits ini dapat digabungkan dan diamalkan ? Apakah kedua hadits ini saling bertentangan satu sama lainnya ?
Jawabannya, Pasti tidak bertentangan. Maksud istighfar dalam kedua hadits tersebut adalah memperbanyak istighfar dan menghimbau untuk bertaubat dan kembali ke jalan Allah Taala. Tidak ada pertentangan dan tidak ada perbedaan diantara kedua hadits tersebut, sebab perintah istighfar dalam kedua hadits tersebut tidak dibatasi oleh substansi bilangan 100 atau 70 kali. Siapa yang menginginkan lebih daripada jumlah tersebut, itu lebih baik dan diterima. Dan barangsiapa yang istighfarnya tidak sampai 100 atau 70 kali, iapun tidak berdosa dan tidak mengapa, sebab kedua jumlah ini hanyalah perintah mandubah dan mustahabah (disukai), yang menjadikan pelakunya terpuji dan tidak tercela bagi yang meninggalkannya..
Imam Az-Zarkasyi berkata, “Sesungguhnya pengkhusussan dengan bilangan tidak menunjukkan bertambah atau berkurangnya suatu bilangan. Maksudnya tidak menunjukkan penolakan hukum yang dikhususkan dengan bilangan itu, baik bertambah atau berkurangnya bilangan tersebut.”[5]
Pendapat ini sama dengan perkataan ulama ushul fikih. Menurut pendapat yang shahih, bahwa pengertian bilangan tidak selalu merupakan dalil ketetapan dan pembatasan. Lalu apakah masuk akal, tuduhan orang yang mencela dan menganggap bahwa jama’ah Tabligh telah membatasi dakwah mereka dengan hitungan hari-hari tertentu dan khusus, seperti 3 hari, atau 40 hari, dan seterusnya ?
Padahal 3 hari, 40 hari, atau 4 bulan itu bukan hujjah dan tidak bermakna pembatasan dan peringkasan dalam kewajiban dakwah, bilangan hari-hari tersebut hanya untuk mempermudah tertib waktu yang digunakan oleh para ahli dakwah dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya. Hal ini bisa dibuktikan dari perkataan para ulama jama’ah ini, bahwa Waktu-waktu itu hanyalah untuk kemudahan tertib, bukan sebagai pembatasan.
Syaikh umar palanpuri di dalam penjelasannya disalah satu ijtima’ berkata, “siapa yang siap khuruj fi sabilillah 40 hari ?” lalu ada seorang pemuda berdiri, dan berkata, “ ya syaikh kenapa harus 40 hari ?" Lalu syaikh menjawab, “Baik siapa yang siap 39 hari?”[6]
Dengan demikian, -menurut konsep ini-, setiap jumlah bilangan hari ( 3 hari, 40 hari, 4 bulan) yang disebutkan oleh para ahli dakwah atau yang tidak disebutkan oleh mereka di dalam tertib waktu-waktu tertentu untuk berdakwah di jalan Allah, tidak berarti menafikkan fadhilah dan hukum bilangan-bilangan yang selainnya, baik yang bertambah atau berkurang. Apabila ada yang keluar untuk berdakwah selama 2 hari, maka ia tetap akan medapatkan fadhilah berdakwah dan pahalanya.[7]
Selanjutnya Imam Al –Izz bin Abdissalam di dalam Qawaa’idil Ahkam memberi isyarat dengan ucapannya tentang bid’ah-bid’ah wajibah, diantaranya yaitu : Sesuatu yang kewajibannya tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu hukumnya wajib. Dan semua perantara yang dengannya Kalamullah dan sabda Rasulullah y dapat dipahami, maka hukumnya wajib. Seperti, sibuk mempelajari ilmu nahwu dan perkara lainnya yang tidak sempurna kewajibannya kecuali dengannya.
Termasuk didalamnya pengkhususan waktu untuk mempelajari ilmu agama, sehingga dengan pengkhususan tersebut, dapat diketahui apa maksud Allah dan Rasul-Nya, dan termasuk juga pengkhususan waktu untuk berdakwah dan menyebarkan risalah Nabi y. Dakwah ilallah serta menyampaikan risalah adalah kewajiban yang keutamaannya telah disepakati oleh kaum muslimin.
Demikian juga berbagai wasilah (perantara) yang mendorong untuk keberhasilan sesuatu misalnya melalui penentuan waktu khusus untuk menjalankan kewajiban, dimana sempurnanya kewajiban tersebut bergantung pada waktu-waktu tersebut dan secara akal tidak dianggap berhasil kecuali dengan pengkhusussan waktu-waktu tersebut. Waktu-waktu itu termasuk sebagai wasilah (perantara) untuk menunaikan kewajiban yang tidak mungkin dapat dilaksanakan kecuali dengannya.
Oleh sebab itu, tidak ada satu madrasah atau perguruan tinggi islampun, kecuali mengkhususkan waktu untuk mempelajari ilmu syariat yang bermacam-macam itu. Kami menemukan bahwa di fakultas-fakultas syariah di al Azhar asy-Syarif di kairo mesir, menentukan 4 tahun untuk mempelajari ilmu-ilmu syariat yang lurus. Demikian pula di fakultas-fakultas Ushuludin, dan fakultas –fakultas dakwah di universitas islam di madinah munawarah, dan perguruan-perguruan tinggi islam yang tersebar di seluruh dunia islam.
Tentu tidak akan ada orang yang mengaku sudah mempelajari ilmu-ilmu agama, lalu ia mengaku bahwa pengkhususan waktu itu adalah bid’ah dan sesat, karena tidak dilakukan pada masa Rasulullah y.
Imam Al-Izz bin Abdisallam menyatakan bahwa menyampaikan risalah kepada generasi penerus adalah wajib secara ijma’. Dan kewajiban ini tidak sempurna, kecuali melalui wasilah yang dapat mendatangkan, mendorong, dan menunjukkan kepadanya.
Dalam hal ini tidak ada batasannya, sebagaimana imam syatibi t telah berdalil didalam al ihtisham dengan berkata, “Perintah menyampaikan syariat, tidak ada pertentangan didalamnya, karena Allah l berfirman,
$pkš‰r'¯»tƒ ãAqß™§9$# õ÷Ïk=t/ !$tB tAÌ“Ré& šø‹s9Î) `ÏB y7Îi/¢‘
“Wahai rasul, sampaikanlah sesuatu yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu.” (Al Maidah:67)
Umatnyapun diwajibkan untuk menyampaikan risalah tersebut. Didalam hadits disebutkan, ‘Hendaklah yang hadir diantara kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir.” (Shahih Bukhari).
Dengan demikian, termasuk dalam bab ini adalah khuruj fi sabilillah dan segala penyampaian risalah yang telah dilaksanakan oleh para dai, sepanjang wasilah itu sesuai dengan syar’i, nash, dan maslahat umum, seperti mengarang buku dakwah, siaran radio dan televisi islam, kaset-kaset dakwah, yang semua itu tidak pernah ditemukan pda masa dahulu.
Demikian pula jika adanya wasilah tertentu dalah hal ini menentukan waktu untuk mencapai kepada yang wajib, maka tidaklah mengapa, sebagaimana ditentukan waktu-waktu khusus untuk mempelajari alquran dan hadits, maka waktu-waktu tersebut, baik lama maupun sebentar, berhari-hari, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun, semua itu termasuk dalam wasilah kepada yang wajib; termasuk hukum meluangkan waktu untuk khuruj fi sabilillah demi meningkatkan keimanan dan keshalihan.[8]
Penentuan waktu untuk tujuan syar’i termasuk sunnah
Syaikh Aiman abu syadi berkata, “selanjutnya kami menyampaikan bahwa apabila kami menerima bantahan tentang tahdid (pembatasan) dalam mahfum adad—yaitu khuruj 3 hari, 40 hari, 4 bulan, dsb—ini sebagai pembatasan waktu, maka siapakah diantara alim ulama muktabar yang mengatakan bahwa pembatasan waktu untuk melakukan kewajiban-kewajiban syar’i itu adalah bid’ah sehingga harus ditinggalkan? Berikut ini adalah dalil yang terdapat di dalam hadits shahih Bukhari, kitab ilmu, Bab : Nabi y memelihara (waktu) kepada mereka untuk memberi mau’izhah dan ilmu agar mereka tidak bubar.”
Ibnu Mas’ud a, meriwayatkan, “Nabi y mengatur (waktu) untuk kami dalam memberi nasehat di (sela) hari-harinya untuk menghindari kejenuhan terhadap kami.” (Mutafaqqun ‘alaih)
Ibnu hajar t menulis, “Ungkapan; bahwa Nabi y At-Takhawul berarti memelihara waktu untuk mereka, Al mau’izhah berarti nasehat dan peringatan, lafadz al ilmu diathafkan kepada lafadz Al Mau’izhah sehingga termasuk dalam bab ‘Mengikutkan lafazh yang umum kepada yang khusus’, karena Al ilmu mengandung Mau’izhah dan yang lainnya. Diathafkan demikian, karena Mau’izhah terdapat dalam nash hadits dan lafazh al ilmu disebutkan sebagai dasar pengambilan hukum.”[9]
Perhatikanlah pendapat Imam hafizh Ibnu hajar t diatas, bahwa Al Mau’izhahadalah nasehat dan peringatan. Dan kita ketahui bahwa tidak ada aktivitas dakwah kecuali berupa nasehat dan peringatan terhadap manusia tentang ajaran-ajaran agama mereka.
Lalu apakah nasehat dan peringatan termasuk dalam aktivitas dakwah atau tidak ? Bagaimana Nabi y memelihara waktu untuk mereka dalam waktu tertentu dan terbatas, sehingga mereka tidak jenuh apabila dilakukan sehari-hari. Dan perhatikalanlah, ucapan hafizh Ibnu Hajar, bahwa lafazh Al ilmu diikutkan kepada lafazh Al Mau’izhah, termasuk dalam bab ‘Menngikutkan lafazh umum kepada yang khusus’, karena al ilmumengandung mau’izhah dan yang lainnya.
Dalil imam Bukhari dengan judul hadits diatas tentang penentuan waktu, tidak dikhususkan pada mau’izhah saja. Lafazh al ilmu bermakna umum, maka keumuman lafazh al ilmu ini memuat semua cabangnya, seperti fiqih, hadits, tafsir, dakwah, ushul, fiqih, nahwu, ulumul lughah, ulumul quran dan lainya masih banyak. Dan dalam mendengar dan mempelajari semua cabang ilmu tersebut, diperbolehkan mengadakan pembatasan dan penetuan waktu, baik berupa harian, mingguan, bulanan, atau tahunan, sebagaimana yang sudah berjalan di setiap perguruan tinggi islam yang tersebar di seluruh penjuru dunia islam.
Mereka membatasi 4 atau 5 tahun untuk strata satu (S1), 4 tahun untuk mempelajari berbagai cabang ilmu lainnya, ada yang lebih dari 5 tahun dan ada yang kurang dari itu, bergantung pada aturan yang berlaku di masing-masing perguruan. Dan seluruh umat sepakat, bahwa hal tersebut adalah baik, bahkan mereka berlomba-lomba untuk menambah daurah ilmu tertentu dan mendukung sistem pengaturan tersebut.
Belum ada seorangpun, –sejak didirikannya sistem tersebut hingga sekarang ini–, yang mengklaim bahwa hal tersebut adalah bid’ah atau sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi y dan para sahabat gdengan membatasi 4 tahun untuk mempelajari hadits, dakwah, ushul fikih, fiqih, dan lain-lain. Seandainya ada seseorang yang mengatakan hal itu bid’ah, tentu orang-orang akan menertawakannya.
Demikianlah para anggota jama’ah Tabligh pun tidak membatasi 3 hari dalam setiap bulan, kecuali untuk menjaga rutinitas dakwah yang sesuai dengan masa, tempat, dan kondisi mereka sekarang ini. Mereka berusaha mengikuti metode Nabi y dalam menggunakan waktu yang mendukung untuk menasehati dan meningkatkan diri mereka dan manusia. Mereka tidak membatasi bahwa waktu-waktu tersebut adalah yang dilakukan oleh Nabi y, karena masalah ini sangat luas yang dapat diatur sesuai dengan kondisi dan siatuasi masing-masing individu, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh imam ibnu hajar al atsqalani rahimahullah.[10]
Sahabat membatasi waktu
Apakah pembatasan waktu tidak pernah dilakukan oleh sahabat ? Mari kita simak penjelasan berikut.
Terdapat beberapa keterangan bahwa para sahabat pun mengadakan pembatasan waktu dalam hal-hal tertentu.
Para imam hadits, diataranya imam Bukhari telah membuat judul dalam kitab shahihnya, bab : “Seorang Ahli Ilmu Agama yang menjadikan hari-hari tertentu untuk memberi mau’izhah/ceramah.” Di dalamnya terdapat hadits dari abi wail, ia berkata, “Dulu Abdullah bin mas’ud memberi ceramah untuk orang-orang setiap hari kamis.”
Lalu seorang laki-laki berkata, Ya aba Abdurrahman, sungguh senang hatiku apabila engkau memberi ceramah kepada kami setiap hari.” Jawabnya: tidak, aku dilarang berbuat demikian, sungguh aku benci, bila aku membuat kalian bosan. Dan sesungguhnya aku menjaga dan memelihara waktu kalian dalam memberi mauizhah/ceramah, sebagaimana Nabi r menjaga dan memelihara waktu kami dalam menasehati untuk menghindari kebosanan kami”. [11]
Di dalam hadits ini terdapat pengkhususan hari kamis dari setiap minggu untuk memberi nasehat dan (meningkatkan) iman. Di dalam hadits ini juga terdapat pembolehan atas pembatasan dan penentuan waktu dalam rangka menasihati umat. Dan untuk mengerjakan semua cabang ilmu, seperti : fiqih, hadits, ilmu dakwah, tafsir, dan lain-lainnya, boleh dikiaskan kepadanya, baik waktu yang dibatasi sehari, dua hari atau tiga hari.
Apabila kita mengenalisa judul bab atas hadits tersebut, sesungguhnya ilmu yang disebutkan dalam judul hadits tersebut adalah umum, bermacam-macam dan bercabang-cabang, memuat semua cabang ilmu, seperti fiqih, hadits, tafsir, bahasam bayan, balaghah, dakwah, ulumul quran, usuhul fiqih, mauizhah dan lain sebagainya. Dan semua cabang ilmu itu sebagai obyek pembahasan judul hadits. Hal ini bermakna, boleh mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk semua cabang ilmu tersebut.
Oleh sebab itu, setiap ahli ilmu membatasi waktu-waktu tertentu untuk murid-muridnya dalam mempelajari ilmu fiqih, baik sehari dalam seminggu, sehingga dalam sebulan bertjumlah 4 hari, atau dua hari dalam seminggu, sehingga sebulan menjadi delapan hari, atau lebih banyak atau lebih sedikit dari waktu –waktu tersebut. Ternyata tidak itu saja, sekarang pun seseorang dapat membatasi dengan mengkhususkan hari-hari tertentu baik itu hari jumat, sabtu, ahad, atau hari-hari lainnya. Dan itu juga dapat membatasi dan mengkhususkan waktu yang akan digunakan, misalnya: antara maghrib dan isya, atau setelah isya, atau setelah ashar, dan sebagainya. Apakah semua itu termasuk sunah atau bid’ah ?
Kami jawab dengan tegas bahwa semua itu termasuk sunah, tanpa ada keraguan sedikitpun didalamnya, sebab hal tersebut telah dilakukan oleh Nabi y dan para sahabat, para tabiin, dan para imam, alim ulama mujtahidin pada abad ke III, dan juga oleh orang-orang yang mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk mempelajari ilmu yang mereka khususkan.
Dan apabila kami memberi judul, misalnya ; “Seorang ahli hadits menjadikan hari-hari tertentu untuk memberi pelajarannya”. Apakah ada yang menetang judul ini ? Apakah ada yang menuduhnya bid’ah ?
Dapat dibayangkan, apabila ada seorang ulama berkata kepada masyarakat ; ”Wahai manusia, aku akan mengajarkan ilmu tafsir, insyaallah dalam minggu-minggu ini.” Lalu orang-orang yang hadir bertanya ; “Waktunya kapan ya ustadz, agar kami bisa menghadirinya?”
Kemudian ulama tadi menjawab, “Tidak, kami tidak membatasi waktu tertentu, karena ini bid’ah. Namun datanglah kalian dalam minggu-minggu ini, dengan izin Allahlpelajaran dan ceramah akan dimulai.”
Kemudian mereka datang pada hari sabtu, namun syeikh yang mulia tidak datang. Mereka pun berkata di dalam hatinya, “Syaikh yang alim tidak datang.”
Syaikh tidak menentukan waktu belajarnya (karena beliau anggap membatasi waktu tertentu adalah bid’ah). Dan sebaliknya ia datng pada hari yang mereka tidak datang. Misalnya hari Jumat, maka ia tentu tidak dapat menemukan mereka. Syaikhpun berkata dalam hatinya, “Mereka itdak menyukai ilmu dan tidak menghendaki pelajaran”. Syaikh mencela masyarakatnya, dan masyarakatnya pun berbalik mencelanya.
Kemudian syaikh berkata lagi, “kalau begitu datanglah lagi dalam minggu-minggu ini untuk mendengarkan pelajaran”. Lalu mereka bertanya, “Hari apa ya ustadz?”
Syaikh menjawab, “Kami tidak menentukan hari karena hal itu adalah bid’ah, tetapi kalian datang saja.” Mereka meminta kepastian dan berkata” Jangan demikian, kami telah banyak kehilangan waktu, tentukanlah waktunya atau pelajaran tidak usah diadakan.”
Perbincangan itu tidak akan berakhir, kecuali jika syaikh bersedia menetukan waktu khusus untuk mereka, agar pelajaran bagi mereka dapat terlaksanakan.
Apakah dakwah terkeluar dan bukan dari salah satu cabang ilmu ? Dan kaum muslimin sejak masa Nabi y hingga sekarang rajin membuat kelompok yang mempelajari metode dakwah, teknik, dan tujuan-tujuannya. Inilah yang dipelajari oleh fakultas dakwah, universitas al Azhar di Kairo Mesir, fakultas dakwah di Madinah al Munawarah, dan masih banyak di perguruan tinggi dunia islam lainnya.
Apabila ditanya, apakah mengkhususkan waktu-waktu untuk mempelajari dakwah dan menyebarkannya kepada umat, sunah atau bid’ah? Insyaallah akan dijawab tanpa keraguan didalamnya, Yaitu Sunnah. Bahkan dakwah itu sebagai kewajiban dan pengkhususan waktu untuk mempelajari dan menyebarkan dakwah Nabi r itu dilakukan oleh sahabat g sebagaimana disebutkan shahih bukhari.
Sesungguhnya para sahabat pun menentukan waktu untuk mencapai tujuan-tujuan syariat. Dan dakwah tidak berbeda dengan judul-judul yang disebutkan, seperti ilmu fiqih, hadits, tafsir, mau’izhah, dan lain-lain. Sebagaimana pengkhususan waktu untuk mempelajari dan menyebarkan cabang-cabang ilmu tersebut adalah sunnah—bukan bid’ah–, maka demikian pula dakwah, karena semuanya memiliki satu tujuan umum, yaitu mempelajari ilmu dan menyebarkannya.
Imam Bukhari menetapkan bahwa penetapan waktu ini adalah jaiz (boleh), karena tanpa mengadakan demikian, maka dapat mendatangkan kesulitan. Padahal menuntut ilmu hukumnya wajib, tidak boleh ditinggalkan.
Imam al Kasymiri, dalam menjelaskan judul hadits ini, berkata: “Dia (imam Bukhari) memaksudkan penentuan waktu seperti itu tidak disebut bid’ah.”[12]
Penyusun kitab “kewajiban mengajak kepada kitab dan sunnah” berkata “Aku bertanya kepada syaikh zainul abidin, “Apa pendapat kalian tentang khuruj 4 bulan dan 40 hari dalam setiap tahun ? Dan apa dalilnya? Beliau menjawab, “Hal ini sekedar untuk tertib (memudahkan pelaksanaan).”[13]
Fatwa Al-Azhar ; Hukum Bepergian untuk Berdakwah (Khuruj) ala Jamaah Tabligh
Pertanyaan : Apa hukum khuruj atau bepergian untuk berdakwah yang dilakukan oleh kelompok Jamaah Tabligh? Apakah perbuatan itu termasuk bid'ah ?
Jawaban oleh Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad : Khuruj yang dilakukan oleh Jamaah Tabligh adalah perbuatan yang boleh dilakukan bagi orang yang mampu untuk berdakwah dengan sikap lembut, penuh hikmah, dan mampu memberi nasihat dengan baik serta bersikap ramah dan sopan kepada orang-orang.
Selain itu, orang tersebut juga harus mengetahui dengan baik apa yang dia sampaikan kepada orang-orang, tidak menelantarkan keluarganya dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.
Adapun penetapan masa khuruj selama 4 hari, 40 hari dan lain sebagainya, hanyalah merupakan masalah teknis murni yang tidak ada hubungannya dengan masalah bid'ah. Ini selama pelakunya tidak meyakini bahwa penetapan jumlah hari itu adalah sesuatu yang disyariatkan.
Demikianlah pendapat jumhur ulama dan para ahli ushul fiqih, bahwa pembatasan dan pengkhususan waktu untuk kepentingan agama tidaklah bertentangan dengan syariat, sehingga tidak dapat dikatakan bid’ah. Wallahu a'lam
Kesimpulan
Ada ratusan bahkan ribuan gerakan/organisasi kaum muslimin yang ada didunia dengan berbagai macam ciri dan metode dakwah masing-masing, satu diantaranya adalah Jama’ah Tabligh. Harakah-harakah dakwah ini berkiprah dengan amal yang nyata, yang manfaatnya pun telah dirasakan oleh kaum muslimin secara luas. Namun memang harus diakui, tidak ada satu pun dari gerakan (harakah) atau organisasi tersebut yang luput dari kesalahan dan kekurangan.
Keluar (khuruj) ala Jama’ah Tablig, tetaplah hanya sebuah metode, yang ada keunggulan di dalamnya namun juga ada kekurangan-keruangannya. Sebagaimana hal itu juga terjadi pada metode dakwah Ikhwan, Hizbut Tahrir, NU, Muhammadiyah dll. Kadang sebagian karkun (sebutan untuk anggota JT) terkesan over dalam menyampaikan dakwah sehingga terkesan memaksa, sok, dan mengada-ada. Atau kasus lainnya, ada beberapa diantaranya yang ‘berfatwa’ keliru tentang beberapa hukum syari’ah. Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi tidak begitu menjadi masalah bila yang dihadapi adalah orang yang telah paham siapa jama’ah ini, semua paham, sebagian besar karkun adalah berlatar belakang dari masyarakat awam yang masih dalam proses pencarian. Tetapi hal ini benar-benar menjadi masalah bila terjadinya di komunitas masyarakat yang kebanyakan awam. Hal sepatutnya menjadi perhatian serius Jama’ah ini, agar menghimbau para anggotanya untuk lebih giat mendalami ilmu syariat sebagai bekal dakwah yang dilakoni.
Namun sebenarnya, kekeliruan-kekeliruan sebagian karkun ini sangat manusiawi, lebih kepada personnya bukan tandzim (tata aturan) jama’ahnya. Dan tidak perlu hal ini disikapi secara apatis, skeptis dan sinis. Sebagai muslim,kita diwajibkan oleh Allah l untuk selalu berhusnudzan kepada sesama muslim dan bila kita menepukan adanya penyimpangan dari sebagian saudara kita, hendaknya kita luruskan dengan cara yang arif. Sikap lembut dan kehati-hatian seseorang untuk tidak terjebak kepada sikap mudah menyalahkan menunjukkan kehanifan dalam beragama. Kita kadang sedih melihat sebagian saudara kita yang demikian mudah menvonis saudaranya yang lain sebagai golongan sesat. Tanpa didasari hujjah dan alasan yang kuat, bahkan terkadang hanya karena disebabkan hal sepele dan alasan yang sangat dibuat-buat. Apakah mereka ini tidak takut peringatan Rasulullah y :“Jika seseorang mengatakan kepada saudaranya (sesama muslim) “hai kafir” maka tudingan itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya.” (HR.Bukhari)
Semua fitnah, tuduhan, tudingan, caci maki, gunjingan dan silap lidah justru akan menggembirakan syaitan, sudah saatnya dihentikan. Diganti dengan salam perdamaian, duduk bersama, saling sayang, saling isi, saling bantu, saling dukung dan saling bekerjasama erat.
Bagaimana mungkin seseorang akan begitu mudah menjatuhkan vonis sesat/kafir kepada saudaranya yang lain padahal informasi yang masuk tidak berimbang, tidak sesuai kenyataan dilapangan, bahkan lebih berupa sebuah fitnah ?
Dan boleh jadi pula, suatu kelompok yang tadinya tergelincir dari kebenaran, suatu ketika mereka melakukan perbaikan. Sehingga apa yang kita tudingkan kepada mereka sudah tidak ada lagi. Lalu apakah kita tidak ikhlas kalau ada orang yang memperbaiki diri ?
Alangkah indahnya sebelum melontarkan sebuah tuduhan kepada sesama muslim, kita terlebih dahulu menziarahinya serta bermunaqasyah (diskusi) secara kepala dingin. Agar komplain kita ada sikap saudara kita itu tersampaikan terlebih dahulu kepada yang langsung berurusan.
Mungkin saja suatu kelompok atau jamaah punya satu dua kesalahan. Dan hal itu tentu sangat manusiawi. Tapi kurang bijak rasanya bila setiap kesalahan saudara kita selalu kita sikapi dengan tuduhan sesat, caci maki atau pengumbaran aib mereka di masyarakat umum dan media. Seolah kita bergembira kalau ada saudara kita yang salah jalan. Karena bisa kita jadikan bahan pergunjingan dan cemoohan. Nauzubillahi min zalik
Semoga Allah memberikan kepahaman kepada kita. Amin.


[1] Lihat nazhrah ilmiyah fi ahli Tabligh wad dakwah: juz 1hal. 41-42.
[2] Lihat dalam buku kami ; Meluruskan pemahaman bid’ah
[3] Nuzhatul Muttaqin:1/33
[4] Shahih Bukhari:VII/83, Musnad imam ahmad:II/341.


[5] Dalilul Falihin:III/163-164.
[6] Sawanih syaikh Muhammad umar palanpuri: II/87.
[7] Nuzhatul Muttaqin:1/568.
[8] Nazhrah ilmiah fi ahli Tabligh wad dakwah:1/45-59.
[9] Fathul bari:I/195.
[10] Nazhrah ilmiah fi ahli Tabligh wad dakwah:I/60-65.
[11] Shahih Bukhari : I/27.
[12] Faidhil Bari, syarah shahih bukhari hal 170.
[13] Nazhrah ilmiah fi ahli Tabligh wad dakwah:1/67-75.



http://ad-dai.blogspot.com/2010/03/apakah-keluar-berdakwah-3-hari-40-hari.html