Cari Blog

Sabtu, 18 Februari 2012

Inilah Ciri-ciri Hadis Palsu

Maudhu’ atau palsu berasal dari kata ata wadha’a – yadha’u – wadh’an wa maudhu’an yang berarti merendahkan, menjatuhkan, mengada-ngada, menyandarkan atau menempelkan, serta menghinakan. Maka, hadis maudhu’ itu memiliki makna, rendah dalam kedudukannya, jatuh tidak bisa diambil dasar hukum, diada-adakan oleh perawinya, serta disandarkan pada Nabi SAW, sedangkan beliau tidak mengatakannya.

Para ulama hadis mendefinisikan hadis palsu sebagai apa-apa yang tidak pernah keluar dari Nabi SAW baik dalam bentuk perkataan, perbuatan ataupun taqrir, tetapi disandarkan kepada Rasulullah SAW secara sengaja. Menurut Ensiklopedi Islam, hadis maudu’ memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Pertama, matan (teks) hadis tak sesuai dengan kefasihan bahasa, kebaikan, kelayakan, dan kesopanan bahasa Nabi SAW. Kedua, bertentangan dengan Alquran, akal, dan kenyataan. Ketiga, rawinya dikenal sebagai pendusta, Keempat, pengakuan sendiri dari pembuat hadis palsu tersebut. Kelima ada petunjuk bahwa di antara perawinya ada yang berdusta. Keenam, rawi menyangkal dirinya pernah memberi riwayat kepada orang yang membuat hadis palsu tersebut.

Menurut ahli Ilmu Hadis, Prof KH Mustafa Ali Ya’kub, sebuah hadis dikatakan palsu apabila, dalam sanad-nya terdapat rawi (periwayat), yang dengan terus terang dia mengaku memalsu hadis. ‘’Maka hadisnya menjadi palsu,’’ tutur guru besar Ilmu Hadis pada Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta itu.

Selain itu, kata dia, jika perawinya pun berdusta, tapi tidak diketahui ketika menyampaikan hadisnya apakah palsu atau tidakm, namun jelas dia pembohong. Maka, menjadi hadis makruh atau semipalsu. ‘’Kedudukan dan kualitasnya sama, yakni harus dibuang.’’

Hadis palsu dibagi menjadi tiga macam. Pertama, perkataan itu berasal dari pemalsu yang disandarkan pada Rasulullah SAW. Kedua, perkataan itu dari ahli hikmah atau orang zuhud atau israiliyyat dan pemalsu yang menjadikannya hadis. Ketiga, perkataan yang tidak diinginkan rawi pemalsuannya, cuma dia keliru. Menurut para ahli hadis, jenis ketiga itupun termasuk hadis maudhu, apabila perawi mengetahuinya tapi membiarkannya.Menurut Manna’ Al-Qathan dalam Mabahis Fi Ulumil Hadits, Hadis maudhu’ adalah yang paling buruk dan jelek di antara hadis-hadis dhaif (lemah) lainnya. Ia menjadi bagian tersendiri di antara pembagian hadis oleh para ulama yang terdiri dari shahih, hasan, dhaif dan maudhu’. ‘’Maka maudhu’ menjadi satu bagian tersendiri,’’ ungkap Al-Qathan.

Lalu, bagaimana jika umat Islam menggunakan hadis palsu? Menurut KH Ali Ya’kub, hadis palsu sama sekali tak boleh digunakan. Bebeda dengan hadis dhaif (lemah) yang masih bisa digunakan. Namun, kata dia, tak semua hadis dhaif bisa digunakan.

‘’Hadis dhaif bisa digunakan, kalau dhaif-nya tidak terlalu parah. Yang parah itu, misalnya, hadis palsu, hadis makruh, dan hadis munkar. Hadis munkar itu periwayatnya pelaku maksiat,’’ tutur Kiai Ali Ya’kub.

Sejatinya, kata dia, hadis palsu itu merupakan bagian dari hadis dhaif. Hadis palsu adalah hadis dhaif yang paling parah. Guna memahami sebuah hadis itu palsu atau tidak, umat Islam bisa mendeteksinya dengan tiga cara. Pertama, tutur Kiai Ali Ya’kub, dengan metode pemahaman tekstual dan kontekstual.

Kedua, dengan menggabungkan riwayat-riwayat yang lain. Dan, ketiga, melalui metode kontroversialitas hadis, misalnya. ‘’Yang tekstual dan kontekstual, misalnya, tentang fatwa nabi apakah pakaian nabi itu kita diharuskan mengikuti seperti itu termasuk sorban, misalnya. Orang yang memahami secara tekstual, apa yang dipakai oleh nabi ya harus kita ikuti. Tapi, yang kontekstual tidak karena itu budaya Arab,’’ ungkap Imam Besar Masjid Istiqlal itu.


http://www.republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.