Cari Blog

Sabtu, 18 Februari 2012

Inilah Motif di Balik Munculnya Hadis Palsu


REPUBLIKA.CO.ID, Hadis maudhu’ atau palsu muncul dan merebak ketika dunia Islam diguncang ketegangan setelah Khalifah Usman bin Affan dibunuh pada tahun 35 H. Sosok Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang memeluk Islam, kerap disebut-sebut sebagai biang kerok dari ketegangan di kalangan pemimpin dan umat Islam pada zaman itu.


Abdullah bin Saba dan komplotannya menabur fitnah di berbagai kota Islam. Mereka mencongkel dan menggulingkan sejumlah gubernur yang ditempatkan Khalifah. Gubernur Mesir, Amru Bin Ash berhasil didongkel lewat fitnah yang diterbarkan kelompok Sabaiyah. Setelah itu, Gubernur Kufah, Amru bin Ash juga digulingkan.

Namun, mereka gagal mendongkel Muawiyah dari kursi Gubernur Syam, karena posisinya begitu kuat. Suhu politik di dunia Islam ketika itu makin memanas, ketika Khalifah Usman bin Affan dibunuh. Menurut sebuh versi,  Abdullah bin Saba’ terlibat dalam pembuhunan Khalifah Usman bin Affan. Ada pula yang menyebut pembunuh khalifak ketiga itu adalah Amr bin Hamiq Al-Khuza’i.

Sehingga, ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib berkuasa Abdullah bin Saba’ dan pengikutnya yang berpura-pura mendukung Ali mendesak agar Umayyah dicopot dari jabatannya sebagai gubernur. Ketegangan makin meningkat, ketika Muawiyyah mendesak Khalifah Ali untuk segera menghukum pelaku pembunuhan Khalifah Usman.

Bahrul Ulum dalam tulisannya bertajuk Hukum Meriwayatkan dan Menyebarkan Hadis Palsu, mengungkapkan, Abdullah bin Saba’ menyebarkan sebuah hadis yang menyatakan bahwa Ali-lah yang lebih layak menjadi khalifah, dibandingkan Usman bahkan  Abu Bakar dan Umar.

Kelompok itu berpendapat, Ali telah mendapat wasiat dari Nabi SAW. Hadis yang digaung-gaungkan oleh kelompok Abdullah bin Saba’ itu berbunyi, “Setiap Nabi itu ada penerima wasiatnya dan penerima wasiatku adalah Ali.” Menurut para hali hadis, hadis tersebut ternyata palsu.

Pada masa itu, hadis palsu belum terlalu marak. Sebab, masih banyak sahabat Rasulullah yang masih hidup. Mereka, menurut Bahrul,  memahami secara pasti benar atau palsunya sebuah hadis. ‘’Khalifah Usman, sebagai contohnya, pernah mengusir Ibnu Saba’ dari Madinah karena telah membuat hadis palsu,’’ tutur Bahrul.
Hadis palsu merebak ketika di dunia Islam muncul kelompok-kelompok, seperti kelompok yang menuntut balas kematian Usman, kelompok yang mendukung Khalifah Ali, dan kelompok di luar keduanya. Setiap kelompok berlomba untuk eksis dan menunjukkan kelebihannya dengan membuat hadis-hadis palsu.

Kondisi itu sempat mengundang keprihatinan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Imam al-Dzahabi meriwayatkan dari Khuzaimah bin Nasr,  “Aku mendengar Ali berkata di Siffin: Semoga  Allah melaknati mereka (yaitu golongan  putih yang telah menghitamkan) karena telah merusak hadis-hadis Rasulullah.”

Sejak itu,  para sahabat mulai memberikan perhatian terhadap hadis yang disebarkan oleh seseorang. Sehingga, mereka tak akan mudah menerimanya sekiranya ragu akan kesahihan sebuah hadis.

Konflik politik di kalangan umat Islam yang semakin hebat, telah membuka peluang bagi golongan tertentu yang coba mendekatkan diri dengan pemerintah dengan cara membuat hadis. Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah dalam al-Israiliyyat wa al-Maudhuat fi Kutub al-Tafsir, mengungkapkan, pada zaman Khalifah Abbasiyyah, hadis-hadis palsu dibuat demi mengambil hati para khalifah.

Menurut Abu Syahbah, hal itu sempat terjadi pada era kepemimpinan Harun al-Rasyid. Saat itu,  Abu al-Bakhtari, seorang qadhi,  masuk menemuinya ketika ia sedang menerbangkan burung merpati. Lalu Khalifah berkata kepada Abu al-Bakhtari, “Adakah engkau menghafal sebuah hadits berkenaan dengan burung ini?

Lalu dia meriwayatkan satu hadits, katanya, “Bahwa Nabi SAW selalu menerbangkan burung merpati.”  Harun al-Rasyid tahu bahwa hadis itu palsu dan dia segera memarahi al-Bahktari,’’ “Jika  engkau bukan dari keturunan Quraisy, pasti aku akan mengusirmu.”

Penyebaran hadis-hadis palsu pada zaman itu masih sedikit dibanding zaman-zaman berikutnya. Sebab, pada masa itu masih banyak para tabiin yang menjaga hadis-hadis Nabi SAW.
Berikut ini beberapa motif dibalik munculnya hadis-hadis palsu di dunia Islam:

Pertama, motif politik dan kepemimpinan. Salah satu hadis palsu yang muncul dengan latar belakang politik antara lain; ‘’Apabila kamu melihat Mu'awiyah di atas mimbarku, maka bunuhlah.’’

Kedua, motif  untuk mengotorkan agama Islam (Zindiq). Salah satu contoh hadisnya antara lain; "Melihat muka yang cantik adalah ibadah’’. Ketiga, motif  fanatisme. Contoh hadisnya, ‘’Sesungguhnya Allah apabila marah, maka menurunkan wahyu dalam bahasa Arab. Dan apabila tidak marah menurunkannya dalam bahasa Parsi.’’

Keempat motif faham-faham fikih. Contoh hadisnya, ‘’Barangsiapa mengangkat dua tangannya di dalam shalat maka tidak sah shalatnya ".  atau hadis yang berbunyi, "Jibril mengimamiku di depan Ka'bah dan mengeraskan bacaan bismillah".

Kelima, motif senang kepada kebaikan tapi bodoh tentang agama. Salah satu hadisnya, ‘’Barangsiapa menafahkan setali untuk mauludku, maka aku akan menjadi penolongnya di yaumil akhir."

Kelima motif menjilat kepada pemimpin. Salah satu contohnya, Ghiyas bin Ibrahim an-Nakha'i al-Kufi pernah masuk ke istana Al-Mahdi,  seorang penguasa Abbasiyah yang senang sekali kepada burung merpati. Salah seorang berkata kepadanya, coba terangkan kepada amirul mukminin tentang sesuatu hadis,  maka Ghiyas berkata, "Tidak ada taruhan melainkan pada anak panah, atau unta atau kuda, atau burung."

Hadis palsu, menurut  guru besar IAIN Walisongo Semarang, Prof Dr H Muhibbin, bisa muncul dalam kitab hadis sahih sekaliber, Jami' al-Shahih karya Imam Bukhari. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya, terdapat hadis yang bertentangan dengan Alquran maupun antarhadis di dalam kitab tersebut.

'’’Hadis palsunya bermacam-macam. Ada yang karena tidak sesuai atau bertentangan dengan Alquran, namun ada pula yang tidak sesuai dengan kondisi kekinian,’’ papar mantan dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo itu.

Salah satu hadis palsu, yang terdapat dalam kitab itu, antara lain;  tentang Isra Mikraj. Di dalam kitab itu, disebutkan bahwa terjadinya Isra Mikraj itu sebelum Muhammad SAW menjadi nabi. ‘’Faktanya, Isra Mi'raj itu setelah Rasulullah diutus menjadi Nabi,’’ ungkapnya.

Selain itu, lanjut dia, ada pula hadis Nabi yang bertentangan dengan ayat Alquran. ‘’Contohnya, tentang seseorang yang meninggal dunia akan disiksa bila si mayit ditangisi oleh ahli warisnya. (Lihat Kitab Jenazah, bab ke-32, hadis ke 648/I--Red),’’ kata dia. Ia menilai hadis itu  bertentangan dengan ayat Alquran, bahwa seseorang itu tidak akan memikul dosa orang lain.
http://www.republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.