Cari Blog

Sabtu, 18 Februari 2012

Melacak Sejarah Munculnya Hadis-hadis Palsu.

Menurut ahli hadis, Subulus Shaleh, pemalsuan hadis terjadi mulai tahun 41 H.

Secara bahasa, hadis berarti baru, tak lama, ucapan, pembicaraan, cerita. 
Menurut para pakar hadis, hadis berarti segala ucapan, perbuatan, dan keadaan Nabi Muhammad SAW atau segala berita yang bersumber dari Nabi SAW berupa ucapan, perbuatan, takrir (peneguhan kebenaran dengan alasan), serta deskripsi sifat-sifat Nabi SAW.

‘’Segala perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi SAW yang bersangkut paut dengan hukum,’’ demikianlah para ahli usul fikih mendefinisikan hadis. 
Lalu apakah semua hadis yang ada di tengah-tengah umat Islam, saat ini, benar-benar berasal dari Rasulullah SAW? 
Ternyata sebagian hadis yang biasa digunakan sebagai dasar pijakan dan dalil termasuk hadis lemah dan palsu.

‘’Telitilah kembali setiap hadis yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Jangan asal riwayat Bukhari, lalu dikatakan sahih,’’ ujar guru besar IAIN Walisongo Semarang, Prof H Muhibbin. Berdasarkan penelitiannya, dalam kitab Jami’ al-Shahih – salah satu kitab hadis terbaik–pun terdapat hadis-hadis lemah dan palsu.

Dari segi SANAD (jalan atau rentetan para rawi yang menyampaikan kepada matan hadis), hadis dikategorikan menjadi tiga macam, yakni hadis sahih, hasan, dan dhaif. Yang dimaksud dengan hadis lemah adalah hadis dhaif. Selain itu, ada pula hadis palsu, yakni dikenal dengan hadis maudu’.

Menurut Ensiklopedi Islam: 
HADITS MAUDU' / HADITS PALSU adalah sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi SAW, tetapi sesungguhnya itu bukanlah perkataan, perbuatan, atau takrir Nabi SAW. 
Lalu sejak kapan muncul hadis palsu di tengah-tengah umat Islam? 
Mengenai awal mula munculnya hadis palsu terdapat beberapa pendapat di kalangan para ahli hadis.

Ada yang berpendapat bahwa hadis palsu yang beredar di tengah-tengah umat Islam sudah muncul sejak masa Rasulullah SAW. Salah seorang ahli hadis yang berpendapat seperti itu adalah Ahmad Amin dalam Fajrul Islam. Namun, mayoritas ahli hadis berpendapat bahwa hadis palsu mulai bermunculan di era kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib

Pakar hadis seperti Dr Mustafa Siba’i, Dr Umar Fallatah, dan Dr Abdul Shomad, meyakini bahwa pemalsuan hadis bermula dari terjadinya fitnah pembunuhan Kalifah Usman, fitnah terhadap Ali dan Muawiyah dan munculnya kelompok-kelompok (sekte) setelah itu. Peritiwa itu berkisar pada tahun 35 H hingga 60 H.

Ahli hadis terkemuka, Muhammad Nashruddin al-Albani dalam Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah, mengungkapkan, hadis-hadis lemah dan palsu bermunculan sejak abad pertama Hijriah. 
"Salah satu di antara sederetan musibah atau fitnah besar yang pernah menimpa umat Islam sejak abad pertama hijriah adalah tersebarnya hadis-hadis dha'if dan maudhu' di kalangan umat," ujar Albani dalam mukadimah kitabnya.

Menurut Albani, musibah dan fitnah besar berupa hadits lemah dan palsu telah menimpa para ulama, kecuali sederetan pakar hadits dan kritikus yang dikehendaki Allah seperti Imam Ahmad, Bukhari, Ibnu Muin, Abi Hatim ar-Razi, dan lain-lain. Ia berpendapat, tersebarnya hadis-hadis lemah dan palsu di seluruh dunia Islam telah meninggalkan dampak negatif yang luar biasa.

Guru besar Ilmu Hadis pada Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta, Prof Dr KH Mustafa Ali Ya'kub, dalam sebuah wawancara dengan Republika, mengungkapkan, berdasarkan sejarah ilmu hadis, hadis palsu baru muncul pada dekade ke-4 dari tahun hijriyah sekitar tahun 40-an H, setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan.

"Usman terbunuh pada tahun 35 H dan dimakamkan pada 36 H. Jadi, pada akhir tahun 35 H wafat dan dimakamkan hari berikutnya, awal tahun 36 H. Sejak itulah timbul kelompok-kelompok politik. Bahkan, DR Subulus Shaleh membuat angka yang pasti, pemalsuan hadis terjadi mulai tahun 41 H,’’ tutur Imam Besar Masjid Istiqlal itu.

Menurutnya, orang pertama atau kelompok pertama yang membuat hadis palsu berasal dari kelompok-kelompok politik. Guna mendukung pendapatnya, para politikus di era kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib berupaya mencari ayat-ayat Alquran. Para politikus itu berupaya membentengi pendapat-pendapatnya dengan ayat-ayat Alquran, namun jika tak ditemukan mereka mencari hadits Nabi.

‘’Karena tidak ada hadis Nabi SAW untuk mendukung pendapat mereka, lalu mereka membuat hadis palsu,’’ ujar pimpinan Ponpes Darussunnah itu. Bahkan, Imam Muhammad Ibnu Sirrin (33-110 H) sempat menuturkan, pada mulanya umat Islam apabila mendengar sabda Nabi SAW berdiri bulu romanya.

Namun setelah terjadinya fitnah (terbunuhnya Usman bin Affan), apabila mendengar hadits, mereka selalu bertanya, dari manakah hadits itu diperoleh? Apabila diperoleh dari orang-orang Ahlu Sunnah, hadis itu diterima sebagai dalil dalam agama Islam. Dan apabila diterima dari orang-orang penyebar bid’ah, hadis itu ditolak.

Ia mencontohkan, ada kelompok politik yang mengultuskan Khalifah Ali bin Abi Thalib, lalu membuat hadis palsu. Fanatisme bita kelompok itu terhadap Ali membuat mereka membuat hadis palsu. ‘’Aliyyun khairul basyar, faman ankara faqad kafara'' (Ali adalah sebaik-baiknya manusia, barang siapa yang tidak percaya, dia telah kafir). 
Nah, ini jelas sekali yang membuat adalah orang yang fanatik dan mengultuskan Ali,’’ papar Kiai Ali Ya’kub.

Seiring bergulirnya waktu, pemalsuan hadis juga mulcul di kalangan kelompok tasawuf atau kaum sufi. Bahkan, kata Kiai Ali Ya’kub, pemalsuan hadis di kalangan ini begitu dominan. Menurutnya, ada beberapa alasan yang mendorong kelompok tasawuf pada zaman itu membuat hadis palsu.

Pertama, dari sisi tujuan. Mereka menganggap, ketika umat sudah bobrok akhlaknya, perlu ada dorongan untuk beramal saleh. Untuk merangsang beramal saleh, mereka membuat hadis-hadis palsu. Kedua, dari segi metode. Metode penetapan hadis, orang sufi tidak sama seperti ahli hadis secara umum. Mereka tidak terikat dengan persyaratan hadis. Misalnya, harus sanad-nya terdiri atas orang-orang yang kredibel. Mereka tidak menggunakan seperti itu. Mereka menggunakan dua metode.

Metode pertama, kata dia, disebut sebagai metode al-Kasyf, yakni suatu pengetahuan yang diperoleh tanpa pembelajaran, seperti ilham. Dengan menggunakan metode al-Kasyf, sebuah hadis bisa dianggap sahih, meskipun para ahli hadis menyatakan tidak sahih. ‘’Karenanya, jumlah hadis palsu di kalangan kaum sufi banyak sekali.’’

Kedua, lanjut Kiai Ali Ya’kub, mereka menganggap Nabi masih sering datang ke dunia, sehingga banyak menemui orang-orang tertentu. Akhirnya, lanjut dia, banyak hadis muncul setelah Nabi SAW wafat. Hadis-hadis palsu makin berkembang pesat di era kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah Dinasti Umayyah.

Guna membendung dan menghentikan peredaran hadis palsu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz lalu memerintahkan para pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadis. Namun, hingga kini masih banyak hadis-hadis palsu yang beredar dan menjadi pegangan sebagian umat. Meski jumlahnya sudah tak terlalu banyak lagi, keberadaan hadis-hadis palsu berpotensi untuk membuat umat tergelincir dalam kesesatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.