Cari Blog

Jumat, 28 Oktober 2011

TAKDIR DALAM PERDEBATAN

TAKDIR DALAM PERDEBATAN
Antara Sunni dan syiah

PengantarSepanjang sejarah, manusia selalu bertanya, apakah segala sesuatu yang terjadi pada dirinya baik musibah atau berkah adalah takdir dari Allah? Ataukah manusia ikut andil dalam menggariskan nasib masa depannya? Hal tersebut tentu saja berkaitan dengan qadha dan qadhar serta takdir. 
Ketika manusia dihadapkan pada persoalan yang dialaminya, misal ia tertimpa suatu keburukan atau mendapat suatu kebaikan, apakah hal semacam ini semata-mata ketentuan dari Allah yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab-Nya ataukah manusia yang menjadi penyebab di dalamnya. Atau memang menusia memiliki kebebasan untuk melawan takdir?
Jika manusia “terpaksa” menerima apa yang dialamatkan pada dirinya, lalu dimanakah letak kebebasan yang dimiliki manusia untuk menentukan jalan hidupnya, ibarat wayang dalam kendali dalangnya, sebaliknya jika manusia bebas berkehendak menentukan keinginannya, dimanakah kendali Tuhan?

Para teolog, filosof dan para ulama telah sejak dahulu berusaha menafsirkan makna takdir sehingga melahirkan beberapa golongan yang mempunyai pemahaman sendiri, mereka menggunakan dali-dalil dalam menguraikan argumennya. Semuanya bermuara untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi manusia berkenaan dengan takdir.
Pada makalah yang singkat ini penulis mencoba mendeskripsikan sekelumit tentang takdir.

PEMGERTIAN TAKDIR
Bicara takdir, tak bisa lepas dari qadha dan qadhar. 
Takdir berasal dari bahasa Arab, diambil dari akar kata "qaddara-yuqaddiru-takdiran", yang berarti; mengukur, memberi kadar atau ukuran. Sehingga bila dikatakan “Allah mentakdirkan demikian”, ini berarti Allah telah memberi kadar, ukuran atau batas tertentu dalam diri, sifat, karakter dan kemampuan makhluknya.
Dalam ensiklopedinya, prof. dr. Nurcholish Madjid mengatakan bahwa takdir adalah ketentuan dari Allah yang maha Kuasa, baik ketentuan yang baik maupun yang buruk. Ketentuan ini bersifat pasti dan sepasti-pastinya[1].taqdirullâh artinya kepastian dari Allah.

Sesuai dengan makna harfiahnya, taqdirullâh digambarkan dalam al-Qur’ân sebagai kepastian. Misalnya tentang perjalanan matahari garis edarnya yang disertai penegasan bahwa tidak mungkin matahari bertemu atau bertumbukkan dengan rembulan sebagaimana siang tidak akan mendahului malam. Semuanya itu disebutkan sebagai takldir dari Yang Maha kuasa. Seperti disebutkan dalam al-Qur’ân, Allah menciptakan segala sesuatu kemudian dipastikan (hukum-hukum) sepasti-pastinya.

Qadha berarti penetapan hukum, atau pemutusan dan penghakiman sesuatu[2]. Seorang qadhî disebut hakim, dinamakan demikian sebab ia bertugas atau bertindak menghakimi dan memutuskan perkara atas kedua orang yang bersengketa di muka pengadilan. Al-Qur’ân menggunakan kata ini dengan menisbahkannya, kadang-kadang kepada Allah, kadang-kadang kepada manusia. Sedangkan qadhar berarti kadar atau ukuran tertentu daripada qadha.

_____Kejadian-kejadian alam ditinjau dari sudut ontologisnya berada di bawah pengawasan dan kehendak Allah yang pasti, ini disebut dengan qadha Ilahi. 
_____Ditinjau dari sudut yang terbatas pada ukuran dan kadar tertentu serta pada kedudukannya dalam ruang dan waktu, ini termasuk ke dalam qadhar ilahi. 
_____Sedangkan takdir adalah pelaksanaan atau implikasi yang terjadi secara nyata dari pada qadha dan qadhar. Jadi antara qadha, qadhar dan takdir adalah serangkaian hal yang saling berkaitan. Jika ketiga term di atas saling berkaitan, paling tidak ada sebab akibat yang menghubungkannya. 

Menurut Murtadha Muthaharri, kejadian alam ini mepunyai tiga kemungkinan[3], yaitu mengakui:
- Bahwa semua kejadian mempunyai suatu sebab yang mendahului, tetapi menolak adanya system akibat yang berlaku di antara segala kejadian, melainkan segalanya adalah akibat langsung dari sebab yang pertama dan utama yaitu Allah. Di seluruh alam ini tidak ada penyebab dan pelaku kecuali hanya satu, yakni Allah swt.
- Bahwa semua kejadian alam tidak berkaitan dengan masa lalu yang mendahuluinya, baik keterdahuluan dalam ruang dan waktu, dan karena itu eksistensinya tidak berkaitan dengan segala yang mendahuluinya. Karena itu dalam kejadian ini mau tidak mau menerima faktor “kebetulan” sebagai tafsiran adanya sesuatu.
- Bahwa seluruh kejadian alam mempunyai sebab akibat. Sistem kausalitasnya berkaitan dengan ruang dan waktu, baik itu dari esensi maujud, bentuk, dan karakteristiknya memiliki penyebab yang mendahuluinya. Demikian pula adanya ikatan yang kuat yang tak mungkin lepas antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Atas dasar ini, maka nasib setiap maujud berada di tangan suatu mujud lainnya, yaitu penyebab yang telah mewajibkan kewujudannya dan memberinya kepastian dan keharusan serta seluruh karakteristik wujudnya yang diakibatkan oleh penyebab lainnya, dan begitulah seterusnya.

Free will dan DeterminismePerdebatan tentang takdir telah melahirkan dua kelompok besar dalam teologi Islam. Kelompok Qadhariyah dan Jabariyah. Qadhariyah berpandangan free will atau kehendak bebas. Manusia memiliki kebebasan sepenuhnya untk menentukan jalan hidupnya, itulah takdir. Tuhan hanya sebagai pencipta saja, setelah itu tidak ada ikut campur lagi dengan ciptaan-Nya karena porsi akal manusia yang mendominasi.segala yang terjadi menjadi tanggung jawab manusia itu sendiri/. Faham ini diwakili oleh kelompok Mu’tazilah.
Sebaliknya kelompok Mu’tazilah determinisme¸manusia diciptakan dalam keadaan terpaksa. Takdir Tuhan berkata demikian. Bahwa yang segala dilakukan manusia adalah semata perbuatan Tuhan sepenuhnya. Manusia tidak diberi kebebasan untuk memilih apapun yang diinginkannya.

Takdir dan Sunnatullah
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dan sisi kejadiannya, dalam kadar atau ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu, dan itulah yang disebut takdir। Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa takdir, termasuk manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan ketentuan Tuhan, yang keduanya menurut sementara ulama dapat disimpulkan dalam istilah sunnatullah, atau yang sering orang menyebutnya "hukum-hukum alam." Menurut prof. dr. Quraisy Shihab, antara takdir dan sunnatullah jelas berbeda Karena sunnatullah yang digunakan oleh Al-Quran adalah untuk hukum-hukum Tuhan yang pasti berlaku bagi masyarakat, sedang takdir mencakup hukum-hukum kemasyarakatan dan hukum-hukum alam.Jadi dibeakan berdasarkan objek takdir itu sendiri. Dalam Al-Quran "sunnatullah" terulang sebanyak delapan kali, "sunnatina" sekali, "sunnatul awwalin" terulang tiga kali; kesemuanya mengacu kepada hukum-hukum Tuhan yang berlaku pada masyarakat
[4]। Manusia mempunyai kemampuan terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan oleh Allah kepadanya। Makhluk ini, misalnya, tidak dapat terbang। Ini merupakan salah satu ukuran atau batas kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Ia tidak mampu melampauinya, kecuali jika ia menggunakan akalnya untuk menciptakan satu alat, namun akalnya pun, mempunyai ukuran yang tidak mampu dilampaui.
Di sisi lain, manusia berada di bawah hukum-hukum Allah sehingga segala yang kita lakukan pun tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah mempunyai kadar dan ukuran tertentu। Hanya saja karena hukum-hukum tersebut cukup banyak, dan kita diberi kemampuan memilih ,tidak sebagaimana matahari dan bulan misalnya, maka kita dapat memilih yang mana di antara takdir yang ditetapkan Tuhan terhadap alam yang kita pilih. Api ditetapkan Tuhan panas dan membakar, angin dapat menimbulkan kesejukan atau dingin; itu takdir Tuhan manusia boleh memilih api yang membakar atau angin yang sejuk. Disinilah pentingnya pengetahuan dan perlunya ilham atau petunjuk

Takdir menurut Ulama Syi’ahMenurut ulama Syiah, Murtadha Muthahhari, dalam buku Pengantar Ilmu-ilmu Islam, terbitan Pustaka Zahra, 2003, masalah determinisme dan kehendak bebas sama dengan masalah predestinasi (sudah lebih dulu ditentukan oleh Tuhan) dan takdir Tuhan (qadha wa qadar). Formulasi pertama berkaitan dengan manusia dan kehendak bebasnya, sedangkan formula kedua berhubungan dengan Tuhan.
Akidah kehendak bebas Syiah, pada tingkat tertentu, sama dengan akidah kehendak bebas Mu’tazilah. Namun, berkenaan dengan makna kehendak bebas, keduanya berbeda. Kemerdekaan atau kehendak bebas manusia, bagi Mu’tazilah, sama dengan tafwidh Ilahiah, yaitu Allah menyerahkan nasib manusia kepada manusia itu sendiri dan kehendak Allah tidak lagi efektif perannya. Sementara itu, menurut keyakinan Syiah, kemerdekaan dan kehendak bebas mengandung makna bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang merdeka. Tapi eksistensi manusia beserta segenap mode eksistensinya, termasuk cara bertindaknya, seperti makhluk lainnya, sepenuhnya bergantung pada zat Allah. Eksistensi manusia dan semua mode eksistensi manusia berasal dan bergantung pada kepedulian Allah, dan mereka berupaya mendapat pertolongan dari kehendak-Nya.
Karena itu, dalam Syiah, posisi kehendak bebas dan kemerdekaan letaknya di antara predestinasi mutlak atau jabr-nya Asy’ariyah, dan akidah kebebasan manusianya Mu’tazilah. Inilah makna ucapan termasyhur para Imam Maksum bahwa tak ada jabr dan tak ada tafwidh, tapi yang ada antara dua alternatif itu[5]
Prof Dr Nurholish Madjid, cendekiawan neo-modernis Indonesia, dalam buku Pintu-pintu Menuju Tuhan, terbitan Paramadina, 1994, menyodorkan pengertian tentang takdir yang dekat dengan pandangan Syiah. Nurcholish mengalobarasi pengertian takdir berdasarkan rujukan tekstual Al-Quran dalam terang sains modern. Mengutip beberapa ayat Al-Qur’an, yaitu surah Al-An’am 96, surah Yasin 38, dan surah Fushilat 12, Nurcholish mengartikan takdir sebagai hukum alam.
Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui (QS.Al-‘an’am: 96)
Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (QS.Yaasin : 36)
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Fushilat: 12)
Berikut ini kutipan pendapat Nurcholish[6]. Maka, kalau kita perhatikan firman-firman yang mengandung perkataan takdir itu, kita mengetahui bahwa istilah itu digunakan dalam maknanya sebagai sistem hukum Tuhan untuk alam raya (singkatnya, hukum alam). Dan sebagai hukum alam, tidak satu pun gejala alam yang terlepas dari Dia, termasuk amal perbuatan manusia. Karena itu, perkataan taqdir dan qadar, sebagai derivasi dari akar kata yang sama, juga digunakan dalam pengertian hukum kepastian yang sepasti-pastinya.
Justru unsur kepastiannya, maka takdir memang tidak dapat dilawan oleh manusia. Karena itu, manusia harus tunduk dan patuh serta menyerah dan pasrah pada takdir itu. Tapi berbeda dengan pengertian umum, tunduk patuh serta menyerah pasrah pada takdir itu, sepanjang pengertian takdir menurut firman tersebut, ialah bahwa dalam segala perbuatan kita harus memperhatikan dan memperhitungkan hukum kepastian Tuhan dalam alam raya ini, karena kita memang tidak mungkin melawan atau mengubahnya.
Kalau dalam amal perbuatan kita harus memperhitungkan takdir Tuhan sebagai hukum kepastian alam ciptaan-Nya itu, syarat pertamanya, dengan sendirinya, ialah kita harus memahami hukum-hukum itu dengan sebaik-baiknya. Karena takdir tidak lain adalah hukum ketetapan Allah, tunduk pada takdir adalah suatu kemestian bagi semua yang pasrah (Islam) kepada-Nya, dan percaya pada takdir bagian integral dari iman kepada Allah.
Makna percaya pada takdir dan keharusan melakukan ikhtiar ialah percaya, dan menerima hukum-hukum kepastian yang menguasai hidup kita, baik dalam lingkungan fisiknya maupun sosialnya, kemudian melaksanakan perintah Ilahi untuk berusaha memberi hukum-hukum itu dengan observasi pada gejala-gejala alam material dan sosial (sejarah), serta mencoba memedomani hukum-hukum itu dalam bertindak demi mencapai tujuan. Tingkat keberhasilan kita memahami hukum-hukum itu menjelma menjadi deretan pilihan atau alternatif, dan kita memilihnya yang terbaik (makna harfiah ikhtiar). Jadi takdir dan ikhtiar, sepanjang kitab suci, terkait erat dengan tuntutan bertindak secara ilmiah, demi efisiensi dan efektivitas.

Takdir dalam perspektif SunniPara ulama' berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua istilah tersebut. Sebagian mengatakan bahwa Qadar adalah ketentuan Allah sejak zaman azali (zaman yang tak ada awalnya), sedangkan Qadha' adalah ketetapan Allah terhadap sesuatu pada waktu terjadi.
Maka ketika Allah menetapkan sesuatu akan terjadi pada waktunya, ketentuan ini disebut Qadar. Kemudian ketika telah tiba waktu yang telah ditetapkan pada sesuatu tersebut, ketentuan tersebut disebut Qadh. Keyakinan akan takdir ini merupakan rukun iman yang ke enam. Sehingga seseorang tidak percaya takdir berarti ia tidak sempurna imannya
Agus Mustafa dalam bukunya "Mengubah takdir " berpendapat bahwa Allah mempunyai dua ketetapan, ketetapan pertama disebut qadar yaitu yang dibawa sejak lahir oleh setiap orang. Seseorang diberikan oleh Allah kesempatan untuk merubah takdirnya atau berusaha menyelaraskan dengan qada Allah, dan hasil dari usaha tersebutlah disebut takdir Allah atau disebut qadhar. Hasil tidak mesti baik karena pertimbangan baik buruknya adalah kehendak Allah.
Kehendak Allah ini dititipkan kepada manusia melalui qada sehingga manusia diperintahkan untuk berusaha merubah nasibnya sendiri. Namun demikian jika kita tinjau dari sudut hadist ada kecenderungan bahwa usaha yang kita lakukanpun sudah merupakan bagian dari takdir.
Dalam sebuah Hadis riwayat Abdullah bin Masud ra., ia berkata: Rasulullah saw. sebagai orang yang jujur dan dipercaya bercerita kepada kami: Sesungguhnya setiap individu kamu mengalami proses penciptaan dalam perut ibunya selama empat puluh hari (sebagai nutfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Selanjutnya Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menulis empat perkara yaitu: menentukan rezekinya, ajalnya, amalnya serta apakah ia sebagai orang yang sengsara ataukah orang yang bahagia. Demi Zat yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya salah seorang dari kamu telah melakukan amalan penghuni surga sampai ketika jarak antara dia dan surga tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga ia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah ia ke dalam neraka. Dan sesungguhnya salah seorang di antara kamu telah melakukan perbuatan ahli neraka sampai ketika jarak antara dia dan neraka tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga . Sahih Muslim : 4781
Kaum Sunni beranggapan bahwa ketika seseorang belum mengetahui takdirnya maka wajib atasnya berusaha dalam hidupnya walaupun hasilnya baik atau buruk telah ditetapkan oleh Allah SWT. Sepintas ada yang beranggapan bahwa paham kaum sunni ini sangat bersinggungan dengan paham jabariyah yang menganut paham bahwa segala tindak tanduk manusia telah diatur sepenuhnya oleh Allah SWT sebelum manusia itu dilahirkan sehingga manusia hanyalah berlaku layaknya sebuah wayang yang sedang di gerakkan oleh sang dalang. Namun akal terkadang menghadang kepercayaan ini dan hal ini tergambar dalam sikap umar ketika hendak memasuki kampung yang terkena wabah penyakit, maka umar menghindar dan menempuh jalan lain , kemudian sahabat bertanya " wahai umar kenapa engkau takut memasuki kampung itu apakah engkau takut dengan takdir Allah ? " , " tidak " kata umar " aku sedang mencari atau berjalan pada takdir Allah yang lain"

Hikmah Mengetahui TakdirJika dilihat dari konteksnya, maka yang disebut dengan takdir adalah sesuatu yang telah terjadi dan harus dihadapi di masa lampau. Sesuatu yang akan datang dan belum terjadi tidak bisa disebut takdir. Seseorang tidak bisa mengatakan “saya ditakdirkan pergi ke kampus besok”, padahal belum tentu itu menjadi kenyataan. Maka ia tidak bisa diesbut sebagai takdir.
Terhadap masa depan atau sesuatu yang belum terjadi, ada semacam konsep ikhtiar. Ikhtiar berasal dari bahasa Arab khairun yang berarti baik, dengan kata lain berikhtiar artinya menentukan pilihan yang terbaik. Pilihan itu sesuatu yang belum terjadi dan dia adanya di masa yang akan datang, bukan masa lampau.
Di sinilah ada harapan untuk meraih sesuatu yang terbaik. Asumsinya bahwa ini menjadi alternative, kemudian dia pilih alternatif yang terbaik, itulah ikhtiar, yang didalamnya ada act of choice atau tindakan memilih. Memilih berarti bebas, karena masa depan masih terbuka sedangkan masa lampau sudah tertutup. Hal terakhir inilah yang harus dihadapi sebagai takdir.
Dengan manusia memahami takdir, seharusnya ia mampu memperbandingkan semua kejadian yang telah menjadi takdir, dengan itu ia diharapkan agar mampu bersikap seimbang atau tidak terlalu ekstrem – terlalu sedih karena menerima musibah atau terlalu sombong karena menerima kesuksesan – karena semuanya dikembalikan kepada Allah.
Jakarta, 19 Januari 2008

Daftar Bacaan :

1. Madjid, Nurcholish. 1994.Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta : Paramadina

2. Madjid, Nurcholish 2006. Ensiklopedi Nurcholish Madjid, sketsa pemikiran di kanvas peradaban. Jakarta : Mizan and CSL

3. Muthaharri, Murtadha. 2000. Manusia dan Takdirnya, antara free will dan determinisme. Bandung : Muthaharri Paperbacks.

4. Muthaharri, Murtadha. 2003 Pengantar Ilmu-ilmu Islam, Bandung: Pustaka Zahra

5. Mustafa Agus. 2008 Mengubah Takdir. Surabaya : Padma Press

6. Shihab, Quraisy.2007. Wawasan AL-Qur’an, tafsir tematik atas perbagai persoalan umat. Bandung : Mizan pustaka.



[1] Nurcholish Madjid. 2006. Ensiklopedi Nurcholish Madjid, sketsa pemikiran di kanvas peradaban. Jakarta : Mizan and CSL hal 3221
[2] Murtadha Muthaharri. 2000. Manusia dan Takdirnya, antara free will dan determinisme. Bandung : Muthaharri Paperbacks. Hal 20
[3] Ibid. hal
[4] Quraisy Shihab.2007. Wawasan AL-Qur’an, tafsir tematik atas perbagai persoalan umat. Bandung : Mizan pustaka.
[5] Mrtadha Muthaharri. 2003 Pengantar Ilmu-ilmu Islam, Bandung: Pustaka Zahra
[6] Nurcholish Madjid. 1994.Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta : Paramadina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.