Cari Blog

Selasa, 27 Desember 2011

Makmur Jika Bersyukur, Hancur Jika Kufur

Tidak ada orang yang lebih kaya di dunia ini melebihi Nabi Sulaiman Alaihissalam. Baik di masa lalu, di masa kini, maupun di masa mendatang. Meski demikian, Nabi Sulaiman tidak pernah sombong dan membanggakan diri. Ia justru sering merasa takut jika kelak menjadi orang yang kurang bersyukur karena kekayaan.
Itulah sebabnya ia selalu berdoa agar senantiasa diberi hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Doa Nabi Sulaiman ini diabadikan oleh Allah Ta’ala di dalam al-Qur`an, berbunyi: 
“Ya Tuhanku, berilah aku hidayah supaya aku bersyukur atas nikmat yang Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan supaya aku melakukan kebajikan yang Engkau ridhai, dan dengan karunia rahmat-Mu, masukkanlah aku ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang baik-baik,” (QS. An-Naml [27]: 19).

Al-Qur`an juga memberi contoh sosok manusia yang kaya tapi sombong. Dia adalah Qarun.
Di akhir hayatnya, Qarun tidak bisa menikmati kekayaannya. Bahkan, ikut tenggelam di Laut Merah bersama Fir’aun.

˙·٠•● Hidayah Bersyukur

Nabi Muhammad Saw tidak tergolong kaya. Namun, beliau diberi nikmat luar biasa besar oleh Allah SWT. Adakah nikmat yang lebih besar melebihi nikmat Kerasulan? Dan, beliau senantiasa mensyukuri nikmat ini.

‘Aisyah menceritakan, suatu malam Rasulullah Saw bangun dari tidurnya, kemudian berwudhu dan shalat. Saat i’tidal, ruku, dan sujud, air mata beliau menetes hingga membasahi pipinya. Selesai shalat, beliau menengadahkan tangannya ke atas, memohon doa kepada Allah SWT sambil menangis. Kemudian, beliau melanjutkan shalatnya, sementara air matanya terus mengucur, sampai akhirnya terdengar Bilal mengumandangkan azan subuh.
Keesokan harinya, ‘Aisyah bertanya dan menegaskan bahwa bukankah Allah SWT telah menjamin akan mengampuni dosa-dosa beliau? 
Tapi beliau menjawab: “Tidak pantaskah aku menjadi hamba yang bersyukur?”


Banyak orang yang menganggap jika Nabi Sulaiman bersyukur, itu pantas. Sebab, karunia kekayaan yang diberikan kepada beliau begitu melimpah. Begitu juga Nabi Muhammad Saw, wajar jika harus bersyukur karena diberi nikmat berupa kenabian.
Lalu, bagaimana orang-orang miskin dan awam bersyukur?


Pertanyaan seperti itu mestinya tak pantas keluar dari mulut orang yang berakal. Sebab, karunia Allah SWT untuk manusia sudah teramat banyak. Bahkan kepada orang kafir sekali pun. Baik nikmat yang bersifat asasi, yaitu nikmat yang dibawa manusia sejak sebelum lahir, maupun nikmat yang diterima manusia sewaktu-waktu.


Allah berfirman:

”Dan kalau kamu hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya, sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang. (QS. An-Nahl [16]: 18)

Sederhana saja. Perhatikan tubuh kita. Tak usah yang rumit-rumit, cukup anggota tubuh yang vital-vital saja. Tanyakan pada diri sendiri, siapakah yang menjadikan semua itu laksana instrumen yang lengkap, canggih, otomatis, dan berfungsi secara serentak?
Ini merupakan nikmat yang bersifat asasi dan fitri. Semua manusia akan merasakan nikmat tersebut.

Al-Qur`an menegaskan:


”Dan Allah melahirkan kamu dari perut ibumu tanpa mengetahui apapun. Dan (kemudian) kamu diberi-Nya pendengaran, penglihatan, dan hati, supaya kamu bersyukur. (QS. An-Nahl [16]: 78)

Karena itu, tak usah menjadi “orang pintar” untuk bersyukur. Sebab, begitu jelas dan gamblang kenikmatan yang dilimpahruahkan Allah Ta’ala kepada kita. Tak sebatas memberi alat-alat yang vital seperti mata, telinga, dan hati untuk mempertahankan hidup, tapi segala ciptaan-Nya di muka bumi telah ditundukkan untuk memenuhi hajat hidup kita.
Segala sesuatu yang ada di alam raya ini, sejak dari tanam-tanaman, binatang ternak, logam, semua ditundukkan agar dapat dimanfaatkan manusia.

Al-Qur`an menegaskan:



”Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur? (QS. Yasin [36]: 33–35)

Ayat ini diakhiri dengan pertanyaan “afalaa yasykuruun,” mengapa mereka tidak bersyukur? Sebenarnya di balik pertanyaan ini ada kewajiban bagi manusia untuk bersyukur kepada-Nya. Maka bersyukur hukumnya wajib bagi setiap hamba-Nya. Orang-orang yang tidak bersyukur adalah orang yang tak tahu diri dan tak tahu berterima kasih.

Allah Ta’ala sama sekali tidak mendapat keuntungan apapun dari sikap syukur manusia. Sebaliknya, kesyukuran manusia itu manfaatnya kembali kepada mereka sendiri. Disembah atau tidak, disyukuri atau tidak disyukuri, sama saja bagi Allah Ta’ala. Ke-Besar-an dan ke-Agung-an-Nya tak bertambah sekalipun seluruh manusia memuji dan bersyukur kepada-Nya.
Sebaliknya, sekiranya seluruh manusia menolak untuk memberi pujian dan berterimakasih kepada-Nya, tak sedikitpun ke-Besar-an dan ke-Agung-annya berkurang. Jika manusia bersyukur, maka manfaatnya akan kembali kepada mereka sendiri.

Allah Ta’ala menyatakan:

Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni'mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An-Naml [27]: 40)

Orang yang bersyukur semakin bening hatinya, bertambah dekat hubungannya dengan Sang Pencipta, dan semakin menyadari betapa nikmat yang dirasakan selama ini merupakan karunia Ilahi yang harus digunakan untuk kebaikan, baik untuk dirinya maupun sesamanya. 


Orang yang bersyukur tak suka hidup bahagia sendiri. Mereka ingin agar orang lain merasa senang dan bahagia sebagaimana yang mereka rasakan. Otomatis hidupnya pun akan semakin bahagia.

Kesyukuran itulah yang akan menambah nikmat berlipat ganda, setidaknya menambah ketenangan jiwa karena orang yang bersyukur akan terhindar dari stres dan tekanan batin.
Allah berfirman:


"Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim [14]: 7)

˙·٠•● Kufur Bikin Hancur

Bagi orang-orang yang enggan bersyukur, azab Allah SWT tak segan-segan ditimpakan kepada mereka, baik saat masih di dunia maupun di akhirat kelak. 
Allah berfirman:
 "Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (QS. An-Nahl [16]: 112)

Untuk menggambarkan akibat buruk yang ditimbulkan oleh ketidaksyukuran kepada Allah SWT, al-Qur`an merekam sejarah tentang Negeri Saba’. Mulanya negeri yang dikenal sebagai baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur (negeri yang aman, makmur, mendapatkan limpahan ampunan dari Allah SWT) itu hidup sejahtera. Lalu, penduduknya tidak bersyukur. Akibatnya, mereka ditimpa musibah yang luar biasa. Tema tentang negeri Saba’ itu bahkan menjadi salah satu nama surah al-Qur`an.

Sekarang, mari kita merenung sejenak. 
Apakah kita sudah merasa aman dari azab Allah-Nya?


Wallahu a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.