Cari Blog

Rabu, 04 Januari 2012

MENELUSURI BID-AH YANG SESAT

MENELUSURI BID-AH YANG SESAT (bag 1 )



"Bid’ah harus di singkirkan, setiap perbuatan bid’ah itu sesat, merayakan maulidurrasul sesat, tahlilan budaya hindu, dzikir berjema’ah, tidak pernah ada contoh dari rasul."
Kalimat ini sangat populer dan sering kita jumpai dalam komunitas muslimin yang melebelkan dirinya sebagai “salafy”. 


Sangat di sayangkan kelompok yang mengaku merujuk langsung kepada para sahabat yang hidup pada masa nabi SAW tanpa harus melewati para ulama empat madzhab ini, kurang begitu memahami atau kalau boleh di bilang tidak mengetahui definisi-definisi bid’ah secara benar. 


Para ulama dari masa tabi’in sampai sa’at ini, tidak keberatan apabila perbuatan bid’ah yang jelas-jelas sesat, serta tidak ada sumber hukum bahkan menyalahi ketentuan sunnah di berantas. Bahkan mereka sangat menekankan hal semacam itu, sebab apabila di biarakan maka kemurnian sunnah terkikis dan terkubur dalam peradaban dan budaya.


Namun kelompok yang melebelkan dirinya sebagai “salafy”, mengingkari perkata’an khalifah kedua Umar bin Khatab yang jelas-jelas mengakui tidak semua bid’ah dapat di sesatkan, sebab apabila perbuatan yang baru tersebut tidak menyalahi ketentuan sunnah serta mempunyai standard hukum dari hukum asal syareat, maka ia adalah “bid’ah hasanah".

Dari sinilah imam Nashirussunnah ”imam syafi’i ra" berkata: Pembagian ada dua:

  1. Bid'ah hasanah (baik) yaitu setiap perbuatan bid’ah yg sesuai (tdk menyalahi) dengan ketentuan sunnah.
  2. Bid'ah sayyi’ah (buruk/tercela) yaitu setiap perbuatan bid’ah yg menyalahi/menyimpang dari ketentuan sunnah.

(Lihat kitab khilyatul awliya’ 9/113 karangan Abi Nu’iem, dan lihat juga fathul bari 13/253 karangan al-Hafidz ibnu Hajar al-Atsqolani).

Imam Nawawi dalam kitabnya (tahdzibul asma’ wallughat) berkata: Definisi bid’ah menurut ukuran syara’ adalah : Setiap sesuatu yang baru yg tdk ada di zaman rasul saw. Dan itu terbagi menjadi dua yaitu: 
1. Bid’ah yg hasanah ( baik ) 
2. Bid’ah qobihah (buruk) 

Bahkan sulthanul ulama Abu Muhammad bin Abdul Aziz bin Abdissalam berpendapat tentang masalah bid’ah dalam kitabnya (al-qowa’idul qubra: 2/337). Beliau berkata:
Bid’ah mempunyai lima hukum:
  1. Bid’ah mempunyai hukum wajib, seperti melakukan aktivitas untk mempelajari ilmu nahwu, yg denganya dapat memamahi kalam-kalam Allah dan Rasul-Nya, sebab menjaga syareat adalah merupakan suatu kewajiban juga.
  2. Bid’ah mempunyai hukum mandub, seperti mengadakan tempat-tempat pesantren dan tempat-tempat madaaris, serta setiap perbuatan yg di anggap baik yg tdk ada di masa angkatan pertama (masa para sahabat
  3. Bid’ah yg mempunyai hukum makruh, seperti memperindah dan menghiasi masjid-masjid.
  4. Bid’ah yg mempunyai hukum mubah, seperti mengembangkan warna-warna pakaian atau makanan dan lain sebgainya. 
  5. Bid’ah yg mempunyai hukum haram, seperti perbuatan bid’ah yg di lakukan madzhab-madzhab qodariyah, jabariyah, syi’ah, muktazilah, hasyawiah, khawarij, mujassamah, dan lain sebgainya yg menyalahi dari ketentuan-ketentuan sunnah.

Perbuatan bid’ah diperlihatkan atas dasar kode etik (kaidah-kaidah) syari’at. Apabila masuk pada kaidah-kaidah wajib maka bid’ah mempunyai hukum wajib, atau masuk pada kaidah-kaidah haram, maka bid’ah berhukum haram, atau masuk terhdap kaidah mandub , makruh dan mubah, maka ia berhukum, mandub, makruh,dan mubah pula. (lihat al-Qowa’idul kubra: 2/337).


MENELUSURI BID-AH YANG SESAT Bag 2


من أحدث في أمرنا ماليس منه فهو رد الحديث رواه شيخان

(man ahdatsa fii amrinaa hadza ma laisa minhu fahuwa raddun)

”Barang siapa yg mengada-ngadakan sesuatu dalam urusan kami ini yang bukan dari kami maka dia tertolak“. (H.R. Bukhari ‎& muslim)

Berkata al-Hafidz ibnu Rajab rahimahullah: Hadist di atas dalam manthuqnya menunjukan bahwa: "Setiap perbuatan yang tidak masuk dalam urusan syare’at maka tertolak, akan tetapi dalam mafhum-nya menunjukan bahwa: "setiap perbuatan yg masih dalam urusan syare’at maka ia di terima (tdk tertolak)“.

“ وقال الإمام العلامة عبد الله الغماري : إن هذا الحديث مخصص لحديث ( كل بدعة ضلالة) إذ لوكانت البدعة ضلالة بدون استثناء لقال الحديث : : من أحدث في أمرنا هذا شيئا فهو رد . لكن لما قال ( من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد ) أفاد المحدث نوعان :

Berkata imam al-Allamah Abdullah al-Ghamari: “Hadist di atas (man ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu fahuwa raddun) adalah sebagai hadist mukhassis (memperkhusus) daripada sebuah hadist ‎”kullu bid’atin dholalah“ sebab jikalau semua perbuatan bid’ah di anggap sesat tanpa terkecuali, maka tentu kalimat hadist di atas berbunyi (man ahdatsa fi amrina hadza sya’ian fahuwa roddun): tidak ada kalimat ”ma laisa minhu“ nya, akan tetapi ketika hadist di atas berbunyi: "man ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu fahuwa raddun", maka hadist tersebut memberikan dua pengertian :

1. ماليس من الدين : بأن كان مخالفا لقواعده ودلائله .فهو مردود :وهو البدعة الضلال.

Perbuatan baru yang bukan dari agama (perbuatan-perbuatan baru yang menyalahi kaidah-kaidah agama dan dalil-dalilnya), ini adalah tertolak. Bid’ah semacam inilah "bid'ah dholalah".

2. وماهو من الدين: بأن شهد له أصل أو أيده دليل :فهو صحيح مقبول . وهو البدعة الحسنة.

Perbuatan-perbuatan yg dari agama (perbuatan baru yg mempunyai standard ukuran hukum asal atau di dukung oleh dalil-dalil yg menguatkan), maka perbuatan semacam ini di terima (tidak tertolak). Inilah yg di sebut ”bid’ah hasanah“.


Hal tersebut di dukung oleh hadist jarir menurut Imam Muslim:

, ‎ويؤيد حديث جرير عند مسلم ( من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيئ ،

“Barang siapa memberikan contoh dalam islam dengan contoh perilaku yg baik maka ia mendapat pahala serta mendapat pahala orang-orang yg mengamalkan setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun“.

ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيئ

”Dan barang siapa memberikan contoh dalam islam dengan contoh perilaku yg buruk, maka ia akan mendapat dosa serta mendapat dosa dari orang-orang yg melakukan setelahnya tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun”. (H.R.muslim)


Begitupun juga hadist dari Ibnu Mas’ud menjelaskan: 

وكذا حديث ابن مسعود عند مسلم من دل على خير فله أجر فاعله

“Barang siapa yg memberikan petunjuk terhadap kebaikan maka ia mendapat pahala sebagaimana pahala orang-orang yg mengerjakanya“. (H.R. Muslim)


Serta hadist dari Abu Hurairah: 

وحديث أبي هريرة عند مسلم : من دعى إلى هدى كان له من الأجر مثل أجور من تبعه لاينقص من أجورهم شيئ، ومن دعى إلى ضلالة كان عليه من الأثم مثل إثم من تبعه لا ينقص من إثمهم شيئ

"Barang siapa yg mengajak kepada petunjuk maka ia mendapat pahala sebagaimana pahala orang yg mengikuti petunjuk tsbt, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun dan barang siapa yg mengajak kepada kesesatan, maka ia mendapat dosa sebagaimana dosa-dosa orang yg mengikuti kesesatan tersebut, tanpa mengurangi dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. ( H.R. Muslim )



Berkata Imam Nawawi dalam kitabnya (riyadus-sholihin 102) hadist yg menjelaskan:

.فإن كل بدعة ضلالة : والمراد باالضلالة هنا ماليس له أصل في الشرع بخلاف محدث له أصل في الشرع فإنه حسن
فمنشأ الذم في البدعة ليس مجرد لفظ محدث أو بدعة : بل ما اقترن به من مخالفته للسنة ورعايته للضلالة، ولذا انقسمت البدعة إلى الأحكام الخمسة لأنها إذا عرضت على القواعد الشرعية لم تخل عن واحد منها _ انتهى من كلام الأمام نواوي ( رياض الصالحين 102‎


”setiap perbuatan bid’ah itu sesat”. Yang di maksud sesat dalam hadist ini adalah: setiap perbuatan bid’ah yg tdk mempunyai standard ukuran asal dari hukum syara’ (bukan perbuatan-perbuatan baru yang mempunyai standard ukuran asal dari hukum  syara’), maka ia adalah perbuatan bid’ah yg baik. 

Standart ukuran pencela’an terhadap perbuatan bid’ah, bukan cuma sebatas setiap sesuatu yg baru yg tidak ada contohnya saja, akan tetapi harus di barengi oleh sampai di mana perbuatan-perbuatan bid’ah tersebut menyalahi ketentuan-ketentuan sunnah & penjagaanya terhadap dholalah (kesesatan). Dari situlah perbuatan-perbuatan bid’ah terbagi menjadi lima hukum, sebab setiap perbuatan-perbuatan bid’ah apabila menimpa terhadap dasar kaidah-kaidah syareat maka ia tdk akan lepas dari hukum-hukum syareat tersebut. 

Yang bisa dijadikan contoh diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra, beliau berkata: ”Rasulullah tidak pernah menambah dari sebelas rakaat dalam sholat di bulan ramadhan, maupun di lain bulan ramadhan". Tidak ada hadist manapun yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw sholat dua puluh raka’at.

Imam asysyayuti menyebutkan sholat dua puluh raka’at di bulan ramadhan, mereka lakukan pada masa sayyidina Umar bin Khotob ra, dan solat dua puluh raka’at masih tetap berlaku sampai sekarang. (lihat di kitab al-hawi lil fatawa 347-350, karangan imam asy-sayuti rahimahumullah)
Menurut Imam Syafi’i adalah dua puluh raka’at sholat taraweh di bulan ramadhan bagi penduduk di luar kota madinah dengan sepuluh salam bersesuaian dengan apa yg mereka lakukan di masa sayyidina  Umar bin Khotob ra, ketika beliau menyatukan para jama’ah untuk sholat di belakang satu imam, dan para sahabat yg lainpun menyetujui.


SIAPAKAH AHLI BID’AH ITU


Rasulullah Saw bersabda: “Ummatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” 
Ditanyakan kepada beliau: “Siapakah mereka (yang satu golongan itu), wahai Rasul Allah?”
Beliau menjawab: “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku.” 
[HR Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim]


Wahai ummat Islam....! 
Marilah kita bersatu dalam jama’ah Rasul dan para shahabatnya ! 
Tinggalkanlah aliran-aliran yang memisahkan diri dari jama’ah ini ! 
Tinggalkanlah jama’ah-jama’ah ahli bid’ah ! 
Tinggalkanlah jama’ah-jama’ah yang berbeda dengan para ulama-ulama terdahulu yang shalih !
Siapakah jama’ah-jama’ah ahli bid’ah itu ? 
Mereka yang menolak manhaj salafush sholih, itulah para ahlul bid’ah. 
Bagaimanakah ciri-ciri mereka menurut ulama-ulama kita? 
Diantaranya, mereka itu:

  1. Menolak adanya bid’ah hasanah. Padahal para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengakui adanya bid’ah hasanah. 
  2. Mengharamkan perayaan Maulidur Rasul. Padahal para Muhaddits pun merayakannya. Bahkan Shahabat pun bermaulid. Bahkan Rasul sendiri melakukannya.
  3. Mengharamkan tawassul dengan Nabi.
  4. Mengharamkan mengirim hadiah pahala untuk mayit. Dalam Majmu’ fatawa juz 24 hal.306, Ibnu Taymiyyah menyatakan: “Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama islam dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah dan ijma’ (konsensus ulama’). Barang siapa menentang hal tersebut maka ia termasuk ahli bid’ah”.
  5. Mengharamkan tabarruk.
  6. Mengharamkan mencium tangan ulama shalih.
  7. Mengharamkan dzikir berjama’ahPadahal kita semua maklum bahwa membaca takbir di Masjid secara berjama’ah dan mengangkat suara pada malam hari raya adalah sunnah.
  8. Mengharamkan ziarah ke makam Rasulullah SAWDalam qasidah Nuniyyah (bait ke 4058 ) Ibnul Qayyim menyatakan bahwa ziarah ke makanm Nabi SAW adalah salah satu ibadah yang paling utama, tulisnya “Diantara amalan yang paling utama adalah ziarah ini. Kelak menghasilkan pahala melimpah di timbangan amal pada hari kiamat”. Sebelumnya ia mengajarkan tata cara ziarah (bait ke 4046-4057). Diantaranya, peziarah hendaklah memulai dengan sholat dua rakaat di masjid Nabawi. Lalu memasuki makam dengan sikap penuh hormat dan ta’zhiim, tertunduk diliputi kewibawaan sang Nabi. Bahkan ia menggambarkan pengagungan tersebut dengan kalimat “Kita menuju makam Nabi SAW yang mulia sekalipun harus berjalan dengan kelopak mata” (bait 4048).
  9. Menolak untuk bermadzhab.

Jika Anda menemukan hal-hal itu dalam kelompok Anda, maka berhati-hatilah ! Karena mungkin saja kelompok Anda itu adalah kelompok ahlul bid’ah.


Sebenarnya, ummat Islam pun telah berpecah-belah sejak dahulu, dan tepatlah apa yang diberitakan oleh Rasulullah SAW yang bersifat ash-shadiqul-amin. 
Rasulullah ketika ditanya oleh shahabat: “Siapakah golongan yang selamat dari neraka?”
Beliau menjawab: “Mereka adalah golongan yang menuruti langkahku dan langkah para shahabatku.” 
Selanjutnya beliau berpesan pula: “Apabila terjadi suatu perselisihan, maka hendaklah kamu senantiasa berpihak kepada golongan yang terbanyak dari kaum Muslimin.”


Alhamdulillah, sejak dahulu hingga sekarang, para ahlis sunnah wal jama’ah inilah yang merupakan golongan terbanyak dari kaum Muslimin. Tak pelak lagi, bahwa mereka itulah golongan yang selamat. Karena mereka itu senantiasa berpegang teguh kepada petunjuk Al-Qur’an dan petunjuk Rasulullah SAW. Mereka senantiasa mengikuti ajaran yang dibawa oleh para salafush sholih dari golongan para shahabat dan tabi’in radhiyallahu ‘anhum.


Merayakan Maulid

Maulid telah dirayakan juga pada masa Shalahuddin Al-Ayyubi. Di berbagai negeri, maulid telah dirayakan oleh mayoritas kaum Muslimin. Hingga datang suatu makhluq dari tempat timbulnya tanduk setan, Nejd. Lalu makhluq itu diikuti oleh minoritas kaum Muslimin yang menyempal dari Jama’ah yang hingga saat ini terus menimbulkan firqoh-firqoh baru yang lebih kecil. Diantara mereka ada yang berkata: “Apakah nabi atau pun shahabat merayakan Maulidur Rasul?”


Maka kita jelaskan kepada mereka bahwa Nabi Muhammad SAW mengistimewakan hari lahirnya beliau, sebagaimana beliau SAW mengistimewakan hari diselamatkannya Nabi Musa as. Nabi SAW berpuasa pada hari Senin sebagaimana Nabi SAW berpuasa pada 10 Muharram, yaitu hari di mana Nabi Musa diselamatkan.


Tentang keistimewaan hari lahir Nabi Muhammad Saw, terdapat hadits shahih dari Abi Qatadah, beliau menceritakan bahwa:

Seorang A’rabi (Badawi) bertanya kepada Rasulullah saw: “Bagaimana penjelasanmu tentang berpuasa di hari Senin ?" 
Maka Rasulullah saw menjawab: "Ia adalah hari aku dilahirkan dan hari diturunkan kepadaku Al-Qur’an”. [Syarh Shahih Muslim An-Nawawi 8/52]

Maka merayakan dan bergembira atas lahirnya Nabi Muhammad Saw bukanlah perkara baru yang ditambah-tambahkan. Bahkan Allah menyuruh kita untuk bergembira atas karunia dari-Nya. Lahirnya  Nabi Muhammad Saw adalah termasuk karunia terbesar bagi kita. Maka sunnahnya merayakan kelahiran Rasul tidak bisa dibantah hanya dengan perkataan ustadz-ustadz ekstrim. Agama kita bukanlah agama ‘qola ustadz’, tetapi ‘Qolallahu wa qolarrasul’. Dan tidak pernah Allah ataupun Rasul-Nya menyuruh kita untuk bersedih atas wafatnya Rasulullah Saw.


Firman Allah:
 
"Katakanlah: Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Yunus [10]: 58)



 
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS. Al-Anbiya [21]: 107)


Mereka berkata: “Tetapi bentuknya berbeda dengan cara Nabi.” 



Kita jelaskan kepada mereka bahwa tidak ada aturan khusus dalam hal ini. Sehingga bentuknya bebas, selama tidak mengandung kema’siatan. Dan acara perayaan maulid tidak terpaku pada tanggal 12 Rabi`ul Awwal . Bahkan di Masjid Al-Munawar Pancoran, Jakarta Selatan, pembacaan riwayat maulidur Rasul dilakukan setiap Senin malam tiap minggunya sepanjang tahun. Karena mereka begitu gembira atas kelahiran Nabiyur Rohmah SAW.

Lalu tanyakan kepada mereka: “Apakah Nabi pernah membangun Masjid?” Tentu mereka membenarkan bahwa Nabi pernah membangun Masjid. 
Maka membangun Masjid dan merayakan maulidur Rasul adalah dua hal yang telah dilakukan Rasul.


Tanyakan lagi kepada mereka: “Apakah bentuk Masjid yang dibangun Rasul itu seperti yang umum dibangun saat ini ?” Maka mereka akan mengatakan bahwa bentuk Masjid sekarang ini berbeda dengan bentuk Masjid di zaman Rasul.
Jelaskan kepada mereka bahwa perbedaan bentuk Masjid tersebut juga telah menyebabkan perbedaan dalam hal adab memasuki Masjid. Jika dahulu seseorang shalat dengan tetap mengenakan terompah, sekarang kita sholat dengan meletakkan terompah di luar Masjid seperti yang dilakukan Musa di lembah suci Thuwa. 


Lalu tanyakan kepada mereka: “Apakah membangun Masjid dengan bentuk yang sekarang dan melepaskan terompah di luar Masjid merupakan perbuatan bid’ah dholalah?” Jika mereka menjawab, “tidak,” maka jelaskan kepada mereka bahwa merayakan maulidur Rasul dengan bentuknya yang sekarang bukanlah bid’ah dholalah.

Sepertinya, tidak mungkin mereka menyatakan bahwa melepaskan terompah di luar Masjid itu bid’ah dholalah karena menyelisihi sunnah Rasul dan meniru Yahudi. Dan tidak mungkin mereka menyatakan bahwa membangun Masjid dengan bentuknya yang sekarang adalah bid’ah dholalah dengan alasan tidak dicontohkan Rasul, meniru adat/kebiasaan non- Muslim, dan menimbulkan bid’ah lainnya. 
Karena, jika mereka menyatakan demikian, katakan saja kepada mereka: “Mengapa kalian tidak mengenakan saja terompah kalian di dalam Masjid? Mengapa tidak kalian hancurkan saja kubah-kubah dan lantai- lantai marmer Masjid yang kalian klaim tasyabbuh kepada bangunan non-Muslim? Mengapa kalian tetap shalat di dalamnya, sedangkan menurut kalian Masjid-Masjid sekarang dibangun atas dasar bid’ah dan bukan atas dasar taqwa?”


Maka jelaslah bahwa merayakan maulidur Rasul dengan bentuk berkumpul di Masjid atau suatu tempat, dengan membaca shalawat, Al-Qur’an, Hadits, riwayat kelahiran Rasul SAW bukanlah bid’ah dholalah. Berlonggar dalam hal makanan dan minuman pada perayaan Maulid bukanlah bid’ah dholalah. Menghadirinya bukanlah perbuatan bid’ah dholalah. Menabuh tabuhan dan berqoshidah/bernasyid dalam perayaan Maulid bukanlah bid’ah dholalah. Karena yang demikian itu adalah bentuk kegembiraan yang diperbolehkan dalam perayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.