Cari Blog

Selasa, 03 Januari 2012

Wali Nikah untuk Anak di Luar Nikah

Terjadi perselisihan dikalangan para ulama tentang sah tidaknya pernikahan seorang wanita yang sedang hamil dikarenakan zina : 
Para ulama Maliki, Hambali dan Abu Yusuf dari madzhab Hanafi, tidak memperbolehkan pernikahan  wanita yang sedang hamil dikarenakan zina, baik dengan lelaki  yang menzinahinya ataupun dengan lelaki yang lainnya, sebelum dia melahirkan, berdasarkan sabda Rasulullah saw: ”Seorang wanita yang sedang hamil tidak boleh digauli sehingga dia melahirkan..” (HR. Abu Daud)


Dan sebagaimana riwayat dari Said al Musayyib bahwa: "Seorang laki-laki telah menikahi seorang wanita dan ketika diketahui bahwa wanita itu sedang hamil dan diberitahukanlah hal ini kepada Nabi saw maka beliau saw pun memisahkan mereka berdua.” (HR. Baihaqi). 


Sedangkan para ulama Syafi’i dan Hanafi membolehkan pernikahannya dikarenakan belum terkukuhkannya nasab, berdasarkan sabda Nabi saw: ”Anak itu bagi yang memiliki tempat tidur sedang bagi yang berzina tidak memiliki apa-apa.” 
(HR. Jama’ah kecuali Abu Daud). (baca : Menikah Pada Saat Hamil)


Setelah menyebutkan perbedaan ulama diatas, Markaz al Fatwa didalam fatwanya menyebutkan bahwa: Anak dari pernikahan itu dinasabkan kepada ibunya dan keluarga ibunya, dengan penasaban sar’i yang benar, yaitu yang meneguhkan kemahraman yang berlanjut kepada perwalian secara syar’i, ashobah, warisan dan selainnya dari hukum-hukum seorang anak, karena pada hakikatnya ia adalah anak ibu yang mengandungnya itu dan tidaklah ada perselisihan dalam hal ini. 

Adapun penasaban seorang anak kepada ayahnya yang berzina dan menisbatkan kepadanya maka dibolehkan oleh: Ishaq bin Rohuyah, ‘Urwah, Sulaiman bin Yasar dan Abu Hanifah. 

Abu Hanifah mengatakan: ”Aku tidak melihat suatu permasalahan jika seorang lelaki yang berzina dengan seorang wanita lalu wanita itu hamil, kemudian lelaki itu menikahinya (menutupi aibnya) dan anak yang terlahir adalah anak darinya (lelaki itu).”
Markaz al Fatwa lebih memilih pendapat jumhur ahli ilmu yang menyatakan bahwa: Apabila seorang lelaki menikah dengan wanita hamil karena perzinahannya maka anak yang terlahir dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibunya itu. Adapun suaminya adalah pemelihara bagi anak tersebut. (Markaz al Fatwa no 6045)
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa jika si ayah biologis dan ibunya yang telah terlanjur hamil ini kemudian menikah. Jika setelah menikah, si ibu masih menjalani kehamilan selama 6 bulan atau lebih sampai kelahirannya, maka si anak bisa mengikuti garis keturunan sang ayah dan bisa menjadi wali nikahnya. 
Tapi jika si ibu menjalani kehamilan kurang dari 6 bulan sampai saat kelahirannya, maka sang anak hanya bisa mengikuti garis keturunan sang ibu. Pernyataan ini bisa ditemukan didalam “al Fatawa al Hindiah” didalam Fiqih Hanafiyah yang menyebutkan : Jika seorang lelaki berzina dengan seorang wanita dan wanita itu menjadi hamil, kemudian lelaki itu menikahinya lalu melahirkan, dan jika wanita itu mengandung selama 6 bulan atau lebih maka nasab anak itu terkokohkan dan jika wanita itu mengandung selama kurang dari 6 bulan maka nasab anak itu tidak terkokohkan kecuali hanya sebatas pengakuannya (bahwa anak itu adalah anaknya) selama dia tidak mengatakan ”Sesungguhnya anak itu dari perzinahan.” Namun jika dia mengatakan,”Sesungguhnya dia adalah dariku dari perzinahan.” Maka nasabnya tidak terkokohkan dan dia tidaklah mewariskan hartanya.”
Pendapat yang paling kuat adalah bahwa anak hasil zina tidaklah terkokohkan nasabnya dari si lelaki pezina, baik dia menikahinya atau tidak. Akan tetapi jika anak itu dinisbatkan kepadanya dengan pengakuannya dan dia tidak mengatakan bahwa anak itu dari hasil perzinahan maka nasabnya terkokohkan didalam hukum-hukum dunia. 


Demikian pula jika lelaki itu menikahi wanita yang dizinahinya dan dia mengandung anak dari hasil perzinahannya lalu melahirkan dalam masa kurang dari waktu minimal suatu kehamilan sementara orang itu terdiam atau mengakuinya dan tidak mengatakan bahwa anak itu adalah dari hasil perzinahan maka nasabnya terkokohkan didalam hukum-hukum dunia.” (Fatawa al Islam Sual wa Jawab juz I hal 591)
Dengan mengambil pendapat jumhur ahli ilmu bahwa seorang anak hasil zina tidaklah dinasabkan kecuali kepada ibunya, dan ketika anak hasil zina tersebut kelak ingin menikah maka tidaklah bisa diwalikan oleh ayah yang berzina dengan ibunya, akan tetapi perwaliannya dilakukan oleh penguasa atau hakim. Karena hakim adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali, sebagaimana sabda Rasulullah saw: 
”Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” 
(HR. Ahmad dan Abu Daud)
Dan seandainya seorang anak hasil zina dinikahkan oleh ayah yang menzinahi ibunya, maka pernikahan yang dilakukannya itu batal, sehingga kedua pasangan tersebut haruslah dipisahkan. Adapun cara pemisahan antara keduanya adalah dengan cara si suami menjatuhkan talak (cerai) terhadapnya jika memang dirinya rela untuk melakukannya sendiri, namun jika dirinya tidak ingin melakukannya sendiri, maka pemisahan itu dilakukan oleh hakim.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Qudamah bahwa: apabila seorang wanita dinikahkan dengan pernikahan yang rusak (batal), maka tidaklah boleh dirinya dinikahkan dengan selain orang yang telah menikahinya, sehingga orang yang menikahinya itu menceraikannya, atau dipisahkan pernikahannya. Apabila suaminya itu tidak mau menceraikannya maka hakimlah yang harus memisahkan pernikahannya, dan nash ini dari Ahmad. (al Mughni juz IX hal 125)
Setelah suaminya menceraikan istrinya atau keduanya dipisahkan oleh hakim, lalu si lelaki ingin kembali menikahinya, maka hendaklah dengan akad yang baru, dengan diwalikan oleh penguasa atau hakim, yang dalam hal ini adalah KUA.
Wallahu A’lam
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Anak hasil zina tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu anak tersebut, meskipun kita tahu bahwa secara hukum kauni qadari bahwa anak hasil zina tersebut adalah anak darinya. Dalam arti, Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan terciptanya anak zina tersebut sebagai hasil percampuran air mani laki-laki itu dengan wanita yang dizinainya. Akan tetapi secara hukum syar’i, anak itu bukan anaknya karena tercipta dengan sebab yang tidak dibenarkan oleh syariat, yaitu perzinaan. Permasalahan ini masuk dalam keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:


الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ



“Anak yang lahir untuk pemilik kasur (anak yang dilahirkan oleh istri seseorang atau budak miliknya), dan seorang pezina tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma)

Dengan demikian, jika seorang lelaki menghamili seorang wanita dengan perzinaan kemudian dia bermaksud menikahinya dengan alasan untuk menutup aib dan menyelamatkan nasab anak tersebut, maka hal itu haram atasnya dan pernikahannya tidak sah. Karena anak tersebut bukan anaknya menurut hukum syar’i. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama sebagaimana dalam Al-Mughni (6/184-185) dan Syarah Bulughul Maram karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu pada Bab ‘Iddah wal ihdad wal istibra`. Dan ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah dalam Fatawa mereka (20/387-389).

Dalam hal ini, seluruh hukum nasab antara keduanya pun tidak berlaku. Di antaranya:

a. Keduanya tidak saling mewarisi.

b. Lelaki tersebut tidak wajib memberi nafkah kepadanya.

c. Lelaki tersebut bukan mahram bagi anak itu (jika dia wanita) kecuali apabila lelaki tersebut menikah dengan ibu anak itu dan telah melakukan hubungan (sah) suami-istri, yang tentunya hal ini setelah keduanya bertaubat dan setelah anak itu lahir, maka anak ini menjadi rabibah-nya sehingga menjadi mahram.

d. Lelaki tersebut tidak bisa menjadi wali anak itu dalam pernikahan.

Namun bukan berarti laki-laki tersebut boleh menikahi putri zinanya. Yang benar dalam masalah ini, dia tidak boleh menikahinya, sebagaimana pendapat jumhur yang dipilih oleh Syaikhul Islam dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Karena anak itu adalah putrinya secara hukum kauni qadari berasal dari air maninya, sehingga merupakan darah dagingnya sendiri. Dalil yang paling kuat dalam hal ini adalah bahwasanya seorang laki-laki tidak boleh menikahi anak susuannya yang disusui oleh istrinya dengan air susu yang diproduksi dengan sebab digauli olehnya sehingga hamil dan melahirkan. Kalau anak susuan seseorang saja haram atasnya, tentu seorang anak zina yang berasal dari air maninya dan merupakan darah dagingnya sendiri lebih pantas untuk dinyatakan haram atasnya. (Lihat Majmu’ Fatawa, 32/134-137, 138-140, Asy-Syarhul Mumti’, 5/170)

Para ulama menyatakan bahwa seorang anak zina dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya, dan keduanya saling mewarisi. Jadi nasab anak tersebut dari jalur ayah tidak ada. Yang ada hanyalah nasab dari jalur ibunya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwasanya suami istri yang melakukan li’an3 di hadapan hakim karena suaminya menuduh bahwa anak yang dikandung istrinya adalah hasil perzinaan sedangkan istrinya tidak mengaku lalu keduanya dipisahkan oleh hakim, maka anak yang dikandung wanita itu dinasabkan kepada ibunya dan terputus nasabnya dari jalur ayah. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.